Tentang Halaqoh dan Setangkup Rindu Part 2

24 Juli 2021

Oleh : Zahratun Nahdah

mushida
Tentang Halaqoh dan Setangkup Rindu Part 2

Oleh: Zahratun Nahdhah

Dulu, kini, dan nanti. Halaqoh selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupanku. Kegiatan halaqoh selalu menjadi momen yang kurindukan. Terasa ada yang hilang, ketika selama beberapa bulan halaqoh terpaksa diliburkan sementara waktu tersebab pandemi.

Rindu, itulah yang kurasakan jika tak berhalaqoh selama beberapa waktu. Karena ruhiyah ini butuh untuk di-recharge selalu. Halaqoh bukan sekadar kewajiban, tetapi ia adalah kebutuhan ruhani dan kalbu.

Untuk berdiri tegar di jalan dakwah, diri ini butuh genggaman tangan menguatkan. Dekapan ukhuwah yang mengokohkan. Nasihat dan motivasi yang meneguhkan. Tazkirah dan tausyiah saling mengingatkan.

Kebutuhan berhalaqoh semakin meningkat setelah aku didapuk menjadi salah satu murabbi, dengan mad’u mahasiswi. Setelah sekian tahun menikmati halaqoh sebagai mutarabbi.

Sungguh, diri ini bukan siapa-siapa. Hanya seorang dengan keterbatasan ilmu, tak punya kemampuan public speaking yang mumpuni, apalagi qaulan tsaqiila yang menggugah jiwa. Tanpa ma’unah Allah dan penguatan dari kawan-kawan seperjuangan, aku bisa apa?

Maka halaqoh murabbiyah, menjadi tempat kami sesama murabbiyah saling berbagi. Berbagi kisah dan kesah, suka dan duka, kendala dan problematika yang dihadapi, dalam rangka mencari solusi. Juga kesempatan untuk mengupgrade pemahaman dan wawasan manhaji, yang nantinya akan kami teruskan ke mutarabbi.

Di atas itu semua, dan yang paling penting, halaqoh adalah momen untuk mentarbiyah dan mengisi ulang kebutuhan ruhani, yang mungkin telah banyak terkorosi kesibukan sehari-hari. Faaqidusy syai’ laa yu’thii, orang yang tidak memiliki tak kan bisa memberi. Bagaimana bisa seorang murabbi menguatkan ruhiyah para mutarabbi, jika ruhiyahnya sendiri kosong tak berisi? Maka halaqoh murobbi adalah harga mati.

Lingkaran cinta dalam ikatan jama’ah, itulah halaqoh. Bukan sekadar mempertemukan raga secara fisik, tetapi juga menyatukan hati dan rasa dalam dekap ukhuwah. Beragam orang dengan latar belakang, suku, daerah asal, budaya dan karakter  yang berbeda, berkumpul dalam satu lingkaran atas nama cinta lillah, fillah dan demi menggapai mardhatillah.

“Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal: 63)

Dari lingkaran-lingkaran kecil halaqoh, cahaya cinta itu meluas, membesar, saling berjalin dan berkelindan menjadi lingkaran yang lebih besar lagi, bernama jama’ah.

 ***

Azan maghrib telah usai berkumandang, saat aku tiba di rumah sepulang halaqoh. Rupanya gadis kecilku sudah bangun tidur. Ia memekik gembira menyambut kedatanganku.

“Mami dari mana? Mami nih pergi diam-diam,” rajuknya manja.

“Mami tadi pergi halaqoh, Sayangku. Tadi Mami mau ajak Cila, tapi Cila lagi tidur sih,” ujarku, sambil memeluknya erat.

“Mami halaqoh di mana?” cecarnya lagi.

“Halaqoh di rumah teman Mami.”

“Cila juga mau halaqoh sama teman-teman Cila,” rengek putri kecilku sembari menarik-narik jilbabku.

“Nanti ya, Sayang. Pekan depan Mami ajak Cila ikut halaqoh ya. Makanya Cila jangan tidur sore,” pungkasku sambil mendaratkan kecupan lembut ke pipinya.

Qaddarallahu wa maa syaa-a fa’ala, janji mengajak Cila ke halaqoh belum bisa kutunaikan. Pekan depannya, pandemi Covid-19 yang semakin merajalela di kota Depok, hingga kini menyebar di seluruh kota di Indonesia membuat halaqoh terpaksa diliburkan. Entah sampai kapan. Semoga bumi ini segera pulih kembali.