Argantara; Bait Cinta Dari Lereng Merapi

17 Agustus 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Argantara; Bait Cinta Dari Lereng Merapi

Arga, begitu aku memanggilnya. Bocah lelaki yang belum genap 5 tahun ini termasuk salah seorang murid Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA) binaan kami, Muslimat Hidayatullah Sleman DIY-Jatengbagsel di salah satu Desa yang terletak pada kawasan pemukiman bersuhu dingin, di lereng Merapi. Dibanding ‘murid’, mungkin ia lebih cocok disebut ‘penggembira’.

Ya, bagaimana tidak, di saat anak-anak lain fokus mengaji, ia asyik bergembira ria. Ketika murid lain mengeja a-ba-ta, ia sibuk berlarian dan berguling di lantai masjid. Ketika yang lain tengah melafalkan surat An Naas, ia asyik teriak-teriak dan bernyanyi, tak jelas lagunya apa. Jarang sekali Arga kecil bersedia duduk manis ikut mengaji, yang ada malah berusaha mengganggu konsentrasi murid lain; terkadang menarik daun telinga, menjadikan murid yang lebih besar sebagai kuda untuk ditunggangi, merampas peci, menarik jilbab, atau menggelitiki sesiapa saja yang diinginkannya.

Bukannya kami tak pernah berusaha menanganinya, selalu dicoba. Namun kembali lagi, 5 tahun adalah fase dimana bermain adalah aktifitas utama anak. Kami pun sudah siasati itu, sebelum atau sesudah mengaji beragam permainan seru dan mengasah otak kami berikan. Arga juga sangat antusias mengikutinya. Akan tetapi disaat waktunya mengaji, ia tak mau turut serta. Sebenarnya tidak jadi masalah, sebab belum menjadi kewajibannya untuk belajar baca Al Qur’an, hanya semata pembiasaan baik saja. Meski begitu, kami tak pernah berhenti mengajaknya agar mau mengaji.

Di suatu sore, meski langit terlihat mendung dan sangat kelam, aku dan dua orang rekan; ummahat Muslimat Hidayatullah Sleman, berazzam untuk tetap berangkat mengajar. Atas kepercayaan masyarakat, Mushida Sleman diminta menangani TPA disana. Bertempat di masjid desa, kami mengajar mengaji di sore hari pada hari yang telah ditentukan.

Sedikit kilas balik tentang perjuangan mengajar TPA di desa ini, sungguh tidaklah mudah. Selain tantangan medan yang terjal dan dingin, dakwah kami acapkali dihalangi oleh missionaris dari agama lain yang juga menjadikan masyarakat lereng Merapi ini sebagai targetnya, terutama kalangan anak-anak. Di saat kami tengah mengajar, mereka datang dan membagikan dengan cuma-cuma berbagai makanan dan buku cerita, tepat di dekat masjid tempat kami mengajar. Alhasil, anak-anak yang tadinya tengah mengaji memilih meletakkan iqra’ dan berlari mengerubungi mereka.

Di kesempatan lain, terkadang dengan seenaknya mereka mengajak anak-anak ini untuk ke taman bermain atau tempat wisata, padahal di saat yang sama adalah waktunya mengaji. Itulah beberapa tantangan kami dalam berdakwah di desa ini, namun itu sama sekali tak membuat langkah surut, mundur teratur. Yang ada malah membuat semangat juang semakin menggelegak. Dengan satu tujuan, li-i’laa`i kalimaatillaah, untuk meninggikan kalimah Allah di muka bumi ini, khususnya lereng Merapi.

Kembali pada kisah pada sore kelabu itu, kami berangkat menggunakan mobil milik DPW DIY-Jatengbagsel yang memang diperuntukkan  untuk dakwah. Lima menit mobil melaju, qodarullah hujan turun dengan derasnya. Sepanjang perjalanan, kami lebih banyak diam. Sibuk bertasbih lirih ditingkahi suara ribut yang dihadirkan oleh hujan. Sesekali guntur menggelegar, namun tak membuat kami gentar.

Desa yang kami tuju letaknya di atas gunung. Maka semakin menanjak mobil, suhu pun bertambah dingin. Dalam kondisi tak hujan saja, lokasi tempat kami mengajar TPA ini terasa sangat dingin, hingga menusuk tulang dan memutihkan ujung-ujung jemari. Apatah lagi dalam keadaan hujan deras begini, bisa dipastikan di atas puncaknya akan lebih menggigilkan raga. Mobil terus melaju, zikir tiada henti. Hati menyenandungkan harap, semoga anak-anak tetap menanti kami dengan tertib dan terkendali.

Sesampainya di halaman masjid, dengan berbekal 2 buah payung kami berlari kecil menuju masjid. Dan, yang kami temui, masjid melompong. Kosong. Jam di tangan menunjukkan pukul 15.30. Yah, wajar sih, di tengah guyuran air dari langit yang deras ini, mana ada anak-anak yang mau keluar rumah. Suhunya bukan main, keramik masjid terasa seperti es batu.

Tik. Tik. Tik.

Pukul 15.45. Begitu saja 15 menit berlalu. Kami isi dengan tilawah mandiri, sembari menunggu anak murid yang (mungkin) akan hadir.

Pukul 16.00. Hujan masih turun. Belum ada tanda-tanda kehadiran seorang murid pun dari total belasan jumlahnya. Kami tetap menanti dengan sabar, namun sudah siap jika tidak satupun murid hadir, sebab hujan masih deras. Tak apalah datang untuk menunggu waktu pulang. Tak ada yang sia-sia di jalan dakwah, begitu pikir kami.

Hingga pada 16.30 dari kejauhan, ditengah curahan hujan, nampak sesosok wanita dengan anak kecil dalam gendongannya mendekat.

Argantara! Ini si Arga!

Refleks kami bertiga berdiri untuk menyambut mereka berdua. Masya Allah, Argantara yang pertama kali datang, di tengah hujan deras dan cuaca sedingin ini!

Haru menelusup ke dalam dada kami, mata berkabut, lalu perlahan basah.

Begitu sampai di beranda masjid, kami sambut mereka dengan sukacita. Pakaian yang dikenakan ibu-anak ini terlihat basah cukup banyak terkena curahan hujan, terutama di bagian bawah.

Kami beri Arga apresiasi dan pujian atas kehadirannya. Rasanya senang sekali ada murid yang hadir, tak peduli walau hanya satu, tak masalah jika itu Arga, si bocil (bocah cilik) yang super aktif dan tak mau diam ini. Bagi kami sore itu, Arga adalah keajaiban dari Allah, kesegaran di tengah dahaga, dan hiburan bagi kelamnya langit sore itu.

Dan, keajaiban tak cukup sampai disitu saja. Melihat situasi masjid yang lengang, tanpa bicara apapun si Arga kecil berlari menuju mimbar, dan berusaha menjangkau Microfon masjid. Setelah kami bantu, ia lalu mulai berbicara dengan tempo yang lambat khas anak kecil,

“Assalaaamu’alaikum wa rohmatullaahi wa barokaatuh.. keeepadaa temaaan-temaan seemuaaa, diiitunggu diii masjid yaa, seeekarang jugaaa. Teeerima kasiiiih.”

Kalimat itu diulangnya beberapa kali, dengan suara besar, hampir-hampir berteriak. Setelah itu ia pun kami ajak untuk duduk dan mengaji, dan masya Allah, kali ini Arga menurut. Haru semakin membuncah sedangkan hujan perlahan mereda.

Pukul 16.45. Satu persatu murid TPA berdatangan. 3, 5 hingga genap 12. Salah satu menyeletuk:

“Sebenernya udah males dateng, Ustadzah. Tapi trus denger si Arga manggilin. Eh, jadi pengen ngaji. Hehe..”

Alhamdulillah ‘alaa kulli haal, di sisa waktu yang ada, anak-anak masih sempat mengaji dan juga setoran hafalan. Arga pun turut serta.

Ah, terima kasih, Nak.

Terima kasih, Murid kecilku, Argantara.

Maafkan jika hati ini pernah menilai bahwa yang kau bisa hanya melompat-lompat, berguling, mengusili yang lain, ribut, dan menguji kesabaran ustadzah. Tapi kami lupa, bahwa pada setiap anak yang suci tanpa dosa, Allah telah meniupkan ruh kebaikan, keistimewaan, keajaiban dan fitrah, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah ‘alaihish sholatu wassalaam: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah..” (HR. Bukhari 1296)

Tinggal menunggu saatnya tiba saja itu disadari oleh orang-orang dewasa di sekitarmu. Semoga kelak kau menjadi sosok da’i, ustadz, alim ulama yang akan menyinari lingkunganmu dan akan membentenginya dari usaha kristenisasi yang massive, Allaahumma aamiin. Tetaplah bersinar, Nak. Bagiku, bagi kami semua, kau dan sosok-sosok kecil itu adalah bait-bait cinta dari lereng Merapi yang takkan usai kami baca dan selami indahnya. Takkan berhenti sampai disini.

*Roidatun Nahdhah (Mushida DIY-Jatengbagsel)

Kota Istimewa, 10-08-2021