Bukan Wanita Berkalung Sorban

10 September 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Bukan Wanita Berkalung Sorban

Wanita itu melangkah dengan gagah di atas kudanya. Sorban yang melilit di lehernya menjadi tanda sebuah tuntutan, harapan dan pernyataan tersirat tentang sebuah kesetaraan. Bahwa sorban yang biasanya akrab dengan kaum lelaki tak ada salahnya dikenakan para wanita. Bahwa pekerjaan yang biasanya dilakukan kaum lelaki tak ada salahnya jika dikerjakan para wanita.

Sebuah pemikiran yang terdengar logis namun sejatinya  sangat membuat miris. Sebuah gambaran masa kini tentang kaum wanita yang merasa dibedakan dengan kaum lelaki. Sebuah gambaran masa kini tentang wanita yang selalu berteriak dan menuntut kesetaraan yang mereka sebut dengan emansipasi.

Sejatinya emansipasi telah disuarakan sejak berabad-abad yang lalu. Suatu pemikiran yang muncul karna penyiksaan dan ketidakadilan yang dilakukan para lelaki. Mereka yang memiliki fisik lebih kuat dan mengaku terfitrah sebagai pemimpin berlaku seenaknya pada kaum wanita. Hal yang membuat para wanita marah  dan  memberontak menuntut kesetaraan.

Kita kembali pada masa itu, suatu masa di mana hidup suatu kaum penyembah berhala yang mengubur hidup-hidup bayi perempuannya karena menganggap itu sebagai cela. Sebegitu rendahkah derajat wanita hingga membuat sang ayah begitu tega mengubur sang bayi bahkan saat baru terlahir dari Rahim ibunya? Ah, bukankah fakta ini begitu cukup untuk kita menyuarakan hal yang sama? Emansipasi wanita.

Namun kita tau dan sama-sama menyadari bahwa pemikiran ini adalah buah dari ketidakpahaman. Bahwa dalam agama ini kita diajarkan dan dipahamkan bahwa lelaki dan wanita memang sejatinya diciptakan dengan tugas dan peran yang berbeda yang memang tak bisa untuk disamakan karna setiap insan dinilai berdasarkan ketaqwaan.

Mari kita menengok fakta yang ada. Kemajuan teknologi tak serta merta membawa kemajuan bagi generasi. Apa yang salah dengan semua ini? Bukankah teknologi telah begitu canggih? Bukankah kurikulum pendidikan telah berulang-ulang direvisi? Bukankah telah banyak sarjana-sarjana lulusan universitas ternama yag bahkan bisa kita temukan sedang menjual kopi? Sekali lagi, Apa yang salah dengan semua ini?

Kesalahan terbesar adalah karena para wanita lupa akan perannya sebagai pendidik generasi. Tenggelam dan terhanyut dalam kemajuan yang tidak memajukan. Islam tak pernah melarang wanita untuk bekerja. Hanya saja jangan sampai pekerjaan itu membuat wanita lupa akan tugas utamanya sebagai madrasah pertama. Pergi saat sang anak masih terlelap, pulang saat sang anak telah tertidur lelap.

Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya di dapur? Kalimat yang juga sering terlontar dari mulut para wanita. Kalimat yang kemudian terjawab pada masa pandemi di mana banyak ibu-ibu kebingungan saat ditanya anaknya tentang hal sederhana seperti penjumlahan.

Harapan agar wanita berpendidikan tinggi tak pernah bertujuan untuk menyaingi kaum lelaki. Tetapi generasi hebat memang selalu lahir dari wanita yang hebat. Wanita yang begitu memahami akan tugas dan perannya sebagai pendidik generasi. Kita memang tak seperti kaum lelaki yang bisa turut ke medan perang. Tapi faktanya para mujahid selalu lahir dari seorang wanita yang begitu paham akan makna perjuangan.

Kita bukan wanita berkalung sorban yang menuntut kesetaraan. Kita adalah wanita Muslimah dengan gamis dan jilbab panjang yang sedang menempuh pendidikan dengan doa dan harapan bisa turut berperan dalam membangun peradaban.*

*Nurul Azka
Siswi Sekolah Menengah Hidayatullah Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur