Menempuh Jalan Menuju Surga

29 November 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Menempuh Jalan Menuju Surga

Hatta ablugha majma’a al-bahraini au amdhiy huquba

“Sampai dapat, saya terus akan mencari pertemuan dua lautan itu (untuk mencari ilmu) atau biarlah saya tetap berjalan selama beratus-ratus tahun lamanya”. (Nabi Musa alaihissalam)

*****

Semasa di sekolah, guru-guru memanggilku Athirah. Itu nama depanku. Sementara nama panggilanku di rumah dan di antara kawan serta tetangga adalah Ara. Aku anak ke  9 dari 10 bersaudara dari satu keluarga bugis yang terpelajar. Aku termasuk murid yang pandai di sekolah. Seingatku, tak pernah keluar dari tiga besar, sesekali juara kedua, dan sering kali juara pertama. Tapi bukan ini yang penting. Ini sekadar memberikan latar belakang untuk kisah berikut ini.

***                      

Pesantren Sulaimaniyah, Jakarta 2015.

Kali ketiga, pagi itu. Bunyi sirene semakin lama semakin jelas. Dan bertambah keras saat melintas persis di depanku. Perlahan suaranya menguap di udara, lenyap bersama bayangan mobil ambulan. Namun, tidak dengan reaksi tubuhku. Walau berusaha keras menyembunyikan kecemasan dengan meraih ujung jilbabku, tetap terlihat jelas tanganku bergetar.

Haydi kardeşim (Ayo, Dik) kita masuk”

Abla Dilla, pengasuh di asrama Sulaimaniyah Putri itu menggenggam tanganku, sembari menuntunku menuju gerbang Rumah Sakit. Ketika itu, kami berada di depan Rumah Sakit Resti Mulya, satu-satunya Rumah Sakit  yang dekat dengan asrama kami. Setelah melewati pemeriksaan endoskopi, hasil rontgen memperlihatkan bahwa ada kelainan pada konka di hidungku yang harus dioperasi. Sayangnya Rumah Sakit Resti Mulya tidak melayani operasi tersebut karena fasilitas yang kurang memadai, maka kami dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar dan lengkap. Sebelum konfirmasi transfer pasien, abla Dilla terlebih dahulu memberi informasi kepada orang tuaku di rumah.

“Orang tuamu telah kami kabari, kardeşim. Mereka menolak transfer pasien dan justru memintamu pulang. Bicarah dengan orangtuamu baik-baik,” katanya sembari menyodorkan telepon genggam padaku.

“Nak Ara, pulang saja ya? Ayah dan ibu tidak sanggup membiarkanmu operasi jauh di sana,” suara ibu begitu lirih saat berbicara. Tak tega aku mendengarnya. Hanya saja, ucapan ibu membuatku bimbang. Kalau aku pulang, alamat tidak bisa kembali.

Jujur saja, butuh sehari semalam sebelum aku menentukan pilihan. Kalau saja pilihan itu dijejali kepadaku sekarang juga, maka sudah pasti aku bakal melontarkan jawabannya dalam tempo tiga detik saja. Tapi, saat itu itu aku masih berusia remaja. Baru 15 tahun. Teenager, istilah kerennya. Usia, yang menurut para psikolog, sangat berkaitan erat dengan isu ketidakstabilan emosi. Meminjam kamus generasi milenial, sedang labil-labilnya. Alhasil, sepanjang hari itu pikiranku berkecamuk. Dalam diam aku berpikir. Lalu, perang batin pun dimulai. Seribu pikiran beradu, patah-mematahkan, jatuh-menjatuhkan. Hingga akhirnya tersisa satu gagasan yang bertahan di babak final, aku harus pulang.

­­­***
Ma’had Kuntum, Bandung 2017

Untuk terus berada di sini aku harus menahan semua rasa sakit agar bertahan sampai garis akhir. Aku tahu itu. Tetapi banyak hal yang sulit untuk kupertahankan. Aku berkata pada diriku bahwa aku punya mimpi yang akan kucapai bahkan bila aku mesti berdarah-darah dahulu di tempat ini. Tapi, kian hari penyakitku ini semakin parah. Udara dingin Bandung nyatanya tidak bisa bersahabat denganku.

Pada akhirnya aku harus menelan bulat-bulat fakta bahwa ini bukanlah tempatku. Pahit, memang. Membuatku teringat pada sebuah ungkapan Ara : himmati mitslul jibali, himmati mitslul jibali, “Kemauanku sekuat dan setinggi gunung.” Maksud sang penyair bahwa jika ada kemauan maka apapun bisa didapatkan dan digapai. Namun mungkin dia lupa bahwa segala sesuatu atas kehendak Yang Kuasa. Manusia boleh berencana sebesar gunung, namun hukum kun fayakun lah yang akan terlaksana.

Diantar oleh salah seorang ustadz dan beberapa kawan, di bandara Husein Sastranegara, aku berpamitan pada kota Bandung. Ya, aku pulang.

***

STIBA Ar-Rayah Sukabumi, 2019.

Aku baru saja selesai mengikuti Ujian Tengah Semester ketika tubuhku tiba-tiba demam dan menggigil. Tiada henti darah mengalir dari hidung dan kedua telingaku. Berita ini sampai di telinga para Ustadzah, dan tak lama kemudian ambulan datang. Setengah sadar, aku merasakan selang infus dan selang antibiotik dipasang di tanganku.

Selama dua minggu aku terbaring di Rumah Sakit Kartika Sukabumi. Di sana ada banyak makanan enak yang dibeli dari restoran, tapi jangankan makan, mau menelan air saja sangat sulit. Setiap kali bergerak, mengalir darah segar dari hidungku. Rasanya setiap menit yang berlalu terasa bagaikan sudah berjam-jam.

Mengetahui kondisiku yang seperti itu, ayah dan ibu di kampung halaman semakin khawatir. Saat menelepon, ayah berkata, “Sebaiknya kita sudahi saja, Nak.”.Aku segera paham maksud ayah, yang harus kusudahi adalah masa-masa belajar di STIBA Arrayah dan keberadaanku yang jauh dari rumah.

“Baiklah, aku pulang saja.”

Kali ini, aku tak ingin lagi banyak protes. Pasti ada penjelasan masuk akal atas segala hal yang terjadi. Pasti ada satu skenario yang telah dimainkan. Aku hanya tidak hendak bertanya-tanya, bagaimana skenario itu dimainkan dan oleh siapa. Aku percaya tak terhitung skenario telah direncanakan dan akan dimainkan untukku. Juga untuk semua orang. Mungkin salah satu skenario itu ialah aku kembali ke tempat ini lagi suatu hari nanti. Entah dengan cara yang ajaib atau biasa. Mungkin pula salah satu skenario itu ialah aku pulang ke rumah dalam waktu dekat ini atau tak dalam waktu dekat ini. Kuserahkan semua urusan pada Sang pembuat skenario.

Dua tahun kemudian, saat kutuliskan kisah ini, diriku berstatus sebagai mahasiswi semester 4 di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Hidayatullah Balikpapan. Aku kembali melanjutkan jenjang pendidikan di tanah kelahiran. Membuka lembaran baru, melanjutkan perjalanan. Sekali layar terkembang pantang surut ke belakang. Bahwa seorang penuntut ilmu tidak boleh mundur. Dia harus berjalan dan menapak jejak. Dia harus yakin, tapak-tapak inilah yang nanti mengantarnya ke surga Allah.

Dengan segala keterbatasan fisik, aku mampu meraih IP 4.00 sejak semester pertama,  bertemu kawan-kawan baik, mendapat kesempatan masuk kelas takhassus bersama syaikhoh dari Yaman, dan masih banyak nikmat-nikmat dan karunia yang diberikan Allah kepadaku tanpa syarat. Alhamdulillah bini’matihi tatimmus sholihat

Cukup panjang perjalanan yang sudah kulalui. Aku telah gagal berkali-kali, lalu bangkit berkali-kali pula, walau tak jarang dengan air mata. Sesudah ini, masih akan ada perjalanan selanjutnya yang boleh jadi semakin tak mudah. Namun, aku percaya akan adanya pertolongan Allah yang menguatkan tapak langkahku dalam menempuh jalan menuntut ilmu, seperti aku percaya bahwa surga itu benar-benar ada.

وَمَن سَلَك طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيه عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ   

“Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, No. 2699)

*/Aruan
Juara 3 Lomba Menulis Keputrian Mushida, Tingkat Mahasiswi