Meraih Ketaatan Dengan Sifat Malu

09 November 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Meraih Ketaatan Dengan Sifat Malu

Di dalam Islam, malu merupakan akhlak yang sangat penting dan luhur. Islam menempatkan rasa malu sebagai bagian dari cabang iman. Dalam hadits dikatakan :

الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَ سِتُّوْنَ شُعْبَةً وَ الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيْمَانِ

“Iman itu enam puluh sekian cabang, dan malu adalah salah satu cabang iman.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits ini malu disebutkan sebagai bagian dari cabang iman, Rasulullah tidak menyebutkan semua cabang iman, melainkan beliau hanya menyebutkan rasa malu saja. Ini menunjukkan bahwa sifat ini memiliki keutamaan yang sangat besar. Malu akan menuntun seorang mukmin menuju kepada cabang iman yang lain. Seseorang yang mempunyai rasa malu, ia tidak akan berbohong, berkata kotor, menipu, khianat, mencuri, berzina, meninggalkan shalat, mengabaikan perintah zakat, mengambil hak orang lain, mengumbar aurat dan perbuatan rendah lain. Ia akan berusaha melakukan hal-hal yang mendatangkan kecintaan Allah dan meninggalkan perkara yang dapat menyebabkan Allah tidak ridha padanya.

Karena sejatinya akhlak ini memang berkaitan erat dengan iman, Rasulullah bersabda :

إِنَّ الْحَيَاءَ وَ الْإِيْمَانَ قُرِنَا جَمِيْعًا فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الْأَخَرُ

“Sesungguhnya malu dan iman saling bertaut, jika salah satunya diangkat, yang lainnya juga terangkat.” (HR. Al Hakim).

Malu dalam bahasa Arab berasal dari kata hayah yang artinya hidup, ia adalah perasaan yang hidup dalam jiwa. Ia akan tumbuh subur dan terawat dengan baik jika berada dalam kalbu yang hidup dengan dzikir dan cahaya iman.  Kalbu yang mati tidak akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Perasaan malu memuliakan jiwa dari segala kerendahan dan kehinaan. Tidak hanya membentengi diri dari keburukan tapi ia juga bisa menjadi kontrol diri, agar tidak merambah kepada kerusakan sosial di masyarakat disebabkan oleh individu-individu yang tidak bisa menjaga muruah dan izzahnya dari hawa nafsu yang tak terkendali.

Sehingga sifat malu hendaknya sudah ditanamkan sejak dini oleh para orang tua kepada anak-anaknya, memberikan pemahaman kepada mereka akan nilai–nilai keislaman, kesopanan, kepantasan, juga norma-norma yang berlaku di masyarakat penting dilakukan agar anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak semaunya sendiri dan menghormati kepentingan orang lain. Melatih mereka untuk melakukan pembiasaan demikian tentunya harus dibarengi dengan keteladanan yang diberikan oleh orang tua, karena tanpa keteladan keadaan tersebut akan mudah menguap dan tidak mengakar kuat. Begitu juga hendaklah dilakukan oleh para pendidik kepada anak didiknya dan semua lapisan masyarakat yang peduli akan pentingnya akhlak ini.

Berikut adalah gambaran yang Rasulullah berikan mengenai keadaan orang-orang yang Allah cabut rasa malu pada dirinya, sungguh yang demikian itu adalah keadaan yang sangat mengerikan. Semoga Allah melindungi kita dari kehinaan demikian dan kita juga senantiasa memohon kepada-Nya agar terpeliharalah sifat malu dalam diri kita. Rasulullah saw bersabda, “Apabila Allah hendak membinasakan seorang hamba, Dia cabut rasa malu darinya. Apabila rasa malu itu sudah dicabut, engkau akan melihatnya dibenci dan dijauhi manusia. Apabila kau lihat ia dibenci dan dijauhi, dicabutlah sikap amanah darinya. Apabila sikap amanah itu sudah dicabut, kau lihat ia menjadi khianat. Apabila ia khianat dan dianggap sebagai pengkhianat dicabutlah sifat kasih sayang darinya. Apabila sifat kasih sayang itu sudah dicabut, kau lihat ia menjadi orang jahat dan terlaknat. Apabila ia jahat dan terlaknat, dicabutlah ikatan islam darinya.” (HR. Ibnu Majah no.  4054). Na’udzubillah, nas’alullahal iman wal Islam. Aamiin.

Mari kita belajar malu dari manusia agung, teladan umat Rasulullah bagaimana rasa malunya melebihi dari rasa malunya seorang gadis yang dipingit terhadap perkara yang tidak sepantasnya.

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص م أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا وَ كَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ

 “Adalah Rasulullah itu orangnya sangat pemalu, bahkan lebih pemalu daripada perawan dalam kamarnya. Apabila beliau tidak menyukai sesuatu kami tau itu dari muka beliau.” (HR. Bukhari)

Begitu juga dari sahabat mulia ‘Utsman bin Affan, Nabi bersabda, “Tidak layakkah aku malu kepada ‘Utsman? Bahkan malaikat saja malu kepadanya.” (H.R. Muslim). Para malaikat malu kepada ‘Utsman karena rasa malu dan akhlak yang dimilikinya. Masyaa Allah, sudah selayaknya setiap muslim meniru akhlak rasul dan para sahabatnya, radhiyallahu ‘anhum, wa radhuu ‘anhu. Sehingga bahagia dan selamatlah ia di kehidupan di dunia dan akhiratnya dengan membawa keridhaan dari Allah swt.

Rasa malu yang hakiki adalah rasa malu yang didasari atas malunya seorang hamba kepada Allah, malu ini berada pada tingkatan malu yang tertinggi, begitulah seorang hamba yang disebut sebagai ‘ibadullah menempatkan segala pengharapannya hanya kepada Allah. Namun malu ini tidak hanya sekedar rasa, ia perlu diimplementasikan ke dalam bentuk aksi nyata sesuai dengan petunjuk yang benar. Sebagaimana sabda Rasulullah,

“Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu, kemudian sahabat berkata, ”Wahai Nabi Allah, sungguh kami telah merasa malu.” Kemudian, Rasulullah bersabda, “Bukan itu yang aku maksud! Akan tetapi, malu kepada Allah yang sebenarnya itu, kamu menjaga kepala dengan segala yang dikandungnya, menjaga perut dengan segala isinya, dan senantiasa mengingat maut dengan segala siksanya. Barang siapa melakukan semua itu, ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi)

Berikut sebuah kisah mengagumkan dari ulama salaf yang bernama Ibrahim ibn ‘Adham, semoga kita bisa mengambil faidah darinya. Suatu Ketika datang seseorang dan berkata padanya: “Wahai imam, aku ingin bertaubat dan meninggalkan dosa, tunjukkan padaku sesuatu yang bisa melindungiku hingga aku tidak lagi bermaksiat kepada Allah.” Ibrahim ibn ‘Adham berkata, “Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, jangan bermaksiat di bumi-Nya, “Lalu di mana aku bisa bermaksiat?” “Di luar bumi-Nya,” jawab Ibrahim ibn ‘Adham. Orang itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin wahai imam, sebab seluruh bumi ini milik Allah,”. Ibrahim berkata, “Tidakkah engkau malu seluruh bumi ini milik Allah, tetapi engkau masih bermaksiat di atasnya?”

Lalu Ibrahim melanjutkan, “Jika engkau ingin bermaksiat jangan memakan rezeki-Nya.” Orang itu menjawab, “Bagaimana aku bisa hidup?” Ibrahim berkata, “Tidakkah engkau malu memakan rezeki-Nya sementara engkau bermaksiat kepada-Nya?”

Ibrahim melanjutkan, “Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, lakukanlah di tempat yang tidak terlihat oleh-Nya.” Orang itu menjawab, “Bagaimana mungkin sementara Dia terus bersama kita di mana saja kita berada.” Ibrahim berkata, “Tidakkah engkau malu bermaksiat kepada-Nya sementara Dia bersamamu dan dekat denganmu?”

Lalu Ibrahim melanjutkan, “Jika engkau tetap ingin bermaksiat, maka apabila malaikat maut datang kepadamu guna mengambil ruhmu, katakana padanya, “Tunggu sampai aku bertaubat!” Orang itu menjawab, “Adakah yang bisa melakukan itu?” Ibrahim berkata, “Tidakkah engkau malu, malaikat maut datang sementara engkau dalam kondisi bermaksiat.” Ibrahim melanjutkan, “Jika engkau tetap ingin bermaksiat, maka ketika para malaikat Zabaniyah yang menjaga neraka Jahannam datang mengantarmu menuju neraka, katakan pada mereka, ‘Aku tidak akan pergi bersamamu.” Orang itu menjawab, “Bagaimana mungkin wahai Imam?” Ibrahim akhirnya mengatakan,”Setelah ini semua, apakah engkau tidak malu kepada Allah?” Wallahu a’lam bishshawab.
*/Marsiti, Ketua Bidang Tarbiyah PP Muslimat Hidayatullah