Tambatan Hati

13 Februari 2022

Oleh : Admin Mushida

mushida
Tambatan Hati

Tahukah engkau rasanya hidup dalam ruang-ruang kegelisahan? Ketika setiap pikiran yang saling bertentangan berkecamuk dalam kepala. Berusaha untuk saling mengalahkan. Mencari cara untuk saling menggilas, dan melakukan strategi untuk saling menjatuhkan. Maka di sanalah aku, seiring perjalanan dalam menemukan tambatan hati.

***

Semilir angin menggerakkan daun-daun bakau dengan anggun. Ombak laut di kejauhan hanya menampakkan riak-riak kecil. Sesekali terdengar kicau ceria burung laut yang bersahutan. Menambah syahdu suasana sore hari ini. Perahu-perahu nelayan mulai memenuhi dermaga. Kesunyian yang tercipta karena pandemik, membuat kami leluasa menikmati keindahan yang terhampar. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Jadi perempuan itu harus mandiri, harus kuat. Jangan kalah sama laki-laki. Jadi kamu nggak tergantung sama laki-laki.”

Teringat kalimat yang sering ibu ucapkan pada kami, ketiga anak perempuannya. Ucapan yang benar-benar terperangkap dalam kepalaku. Menghentak seiring helaan napas. Kalimat yang membentukku jadi pribadi kuat, yang tak pernah tertarik mendapat perhatian dan belas kasihan dari makhluk bernama laki-laki. Hingga pada masanya, kalimat itu akan menemukan lawan tangguh.

Aku menghela napas dalam. Menghirup aroma laut. Menghadirkan oksigen sebanyak-banyaknya ke rongga paruku dan menghembuskannya perlahan. Tampak burung laut sibuk mencari mangsanya di sela tanah becek.

Ingatanku kembali terhempas pada masa lalu. Selepas menamatkan SMA, aku mengepakkan sayap untuk melanjutkan sekolah di salah satu Universitas Negeri. Merasakan atmosfer kota besar. Membuatku tergerak untuk mengikuti geliat pergerakan Islam yang mulai semarak. Kajian-kajian di kampus mendapat tempat tersendiri bagi mahasiswa saat itu, termasuk aku.

Aku mulai menenggelamkan diri dengan aktif mengikuti kajian di salah satu ormas Islam. Hal ini membuat jiwa kemandirian sebagai seorang perempuan semakin terasah. Dunia dakwah yang terpusat pada komunitas muslimah. Membuat kami terampil untuk melakukan setiap peran. Ketiadaan lelaki yang terlibat di dalamnya. Membuatku semakin merasa tidak butuh bantuan lelaki.

Hingga takdir mengantarku untuk berperan sebagai seorang istri. Padatnya aktivitas mulai mengganggu pasanganku kala itu. Bukannya ingin menghalangi dakwah, tapi dia mengingatkan peran seorang perempuan yang semestinya. Sebuah kewajaran yang menghadirkan gelisah.

Kecipak air semakin dekat terdengar. Mencumbui tiang-tiang gazebo ini. Setiap jengkal tanah telah tertutup sempurna oleh pasang. Kuedarkan pandanganku sejauh cakrawala. Mentari hendak menuntaskan tugasnya. Memberi jejak kemerahan di langit senja.

“Arrijalu qowwamuna ‘alannisa’. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 34 menyampaikan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Jadi dalam pernikahan istri harus taat sepenuhnya pada suami selama dalam kebaikan. Bahkan Rasulullah pernah bersabda, sekiranya aku memerintahkan seseorang sujud pada seseorang, niscaya aku perintahkan wanita sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami atas dirinya.”

Hipokampus dalam kepalaku memanggil sebuah memori. Bahasan dalam sebuah kajian yang mengusik setiap sendi pikirku. Ustadzah menyampaikan bagaimana posisi laki-laki dan perempuan dalam sebuah ikatan pernikahan. Kajian itu membuatku merasa tertampar. Selama ini aku penganut paham di mana seorang wanita harus mandiri. Mempunyai peran yang sama-sama kuat dalam pernikahan. Tetap menjalankan fungsinya masing-masing dalam keluarga, tanpa harus saling menguasai.

Dan dari sinilah kegelisahanku dimulai. Di satu sisi aku dibesarkan dengan anggapan seorang wanita harus kuat. Berhak memutuskan sesuatu sendiri. Di sisi lain otakku didominasi keyakinan akan kebenaran mutlak Al-Qur’an, dan perintah patuh pada suami tersurat jelas dalam kitab umat Islam tersebut.

Kegelisahan ini membuatku harus mengambil pilihan dengan mundur dari semua aktivitas luar yang membuatku abai terhadap kodratku sebagai istri. Hanya saja aku selalu merasa bersalah. Apakah keputusanku tepat? Apakah aku akan mendapat ridho suami? Apakah aku telah meninggalkan dakwah? Pertanyaan-pertanyaan yang membangkitkan rasa bersalah terus menghantuiku.

Sentuhan ringan di pundak membuyarkan lamunanku. Dia menyodorkan minuman kesukaanku dengan senyumnya. Kusesap coklat dingin itu perlahan. Dia mengambil tempat di sampingku. Dia selalu menyukai tempat ini. Bisa menikmati laut lepas bersama orang terkasih, begitu katanya. Hal yang tak pernah ditemukan di desa asalnya, dan aku, tetap menjadi pecinta langit. Suka di manapun aku bisa memandang langit luas.

Pikiranku kembali mengembara. Saat aku mulai bisa berdamai dengan gelisah yang berkecamuk. Ketika aku mengajar di salah satu sekolah Islam di kota tempat tinggalku, SD Integral Luqman Al Hakim di Situbondo. Bagiku, tempat ini tak hanya menawarkan sebuah pekerjaan. Tempat ini telah membuka lebar gerbangnya. Membuatku kembali berkecimpung di dunia dakwah yang pernah kugeluti. Memang tak sama tapi setidaknya aku bergerak di arena yang Allah perintahkan.

Acara Bina Akidah pada 2017 lampau menjadi salah satu titik tolak. Visi Mushida yang dipaparkan membuat kegelisahanku mulai mencair. Membangun keluarga Qur’ani sebagai tonggak utama terwujudnya masyarakat bertauhid. Dakwah terpusat pada keluarga yang disampaikan Ustadzah Amin dari Pesantren Hidayatullah Surabaya seakan menjawab gundahku.

Dari keluarga inilah dimulai pembangunan masyarakat. Peran muslimah sebagai istri dan ibu, pembentuk keluarga dan pendidik generasi penerus. Merupakan investasi berharga yang akan menentukan nasib dan masa depan bangsa. Itu sebabnya mengapa perjuangan Mushida difokuskan ke arah ini. Tak hanya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan ibu dalam membina keluarga. Juga meningkatkan kekompakan antara ibu dan ayah sebagai penanggungjawab utama dan pemimpin keluarga, dalam mengantarkan keluarganya menuju surga. Seorang istri menjadi pendukung utama dakwah suaminya. Sungguh indah.

Sejak saat itu aku menetapkan dan memantapkan hati untuk terus berada di tempat ini. Memang tak semudah yang dibayangkan. Pasang surut semangat selalu mengintai. Rayuan untuk menyerah pun menjadi bagian perjalanan. Tapi ternyata takdir Allah dengan begitu misterius terus menuntunku untuk bertahan.

Bersamanya, seorang kader Hidayatullah yang saat ini sedang menatapku penuh kasih. Dia membelai kepalaku dengan lembut. Demi melepas penat, kusandarkan kepalaku di pundaknya. Seakan tahu jalan pikiranku. Dia menggenggam tanganku erat.

“Kita akan terus berada di jalan ini. Walau ini tak mudah. Tapi aku merasa lebih kuat karena dirimu. Aku pun berharap engkau merasakan hal yang sama padaku. Maka mari kita terus berbahagia dan membahagiakan. Agar kita bisa terus saling menguatkan, sampai Allah mematikan kita di atas jalan ini,” ucapnya lirih. Menggetarkan gendang telinga dan menembus hatiku.

Aku hanya bisa mengangguk dan menyunggingkan seulas senyum. Tanpa kata, dengan air yang mulai menggenang di pelupuk mata. Hatiku menjadi semakin gerimis. Sungguh aku merasakan kasih sayang Allah yang teramat sangat. Pertolongannya begitu dekat. Dia selalu menuntunku untuk kembali. Mencecap perjalanan hidup seperti yang digariskan. Menjadikan dakwah sebagai poros hidup. Bersinergi bersama Mushida. Dengan untaian rasa yang bergantian menyapa. Memang takdir tak akan pernah salah. Allah tak akan pernah mendzolimi hambaNya.

Lelaki itu menggamit lenganku. Mengajakku beranjak sebelum panggilan Ilahi menyapa. Langit semakin berwarna merah saga. Mentari pun mulai masuk ke peraduannya. Kami melangkahkan kaki menyusuri geladak. Menuju sebuah musholla. Seiring dengan gerombolan burung blekok yang tampak mendekat dari kejauhan. Dengan formasi khasnya mereka kembali ke sarang. Kueratkan pegangan pada lelakiku. Bersamanya kutemukan kemantapan hati. Untuk menyelesaikan pencarianku di sini. Akhirnya kuputuskan untuk berlabuh dan menambatkan hati. Berharap ridho Allah selalu mengiringi.

Terdengar sayup dari kejauhan audio kajian tentang istri sholihah.

“Ciri-ciri wanita sholihah dalam sebuah hadits disebutkan, apabila sang suami melihatnya maka dia membuat suaminya senang, jika suaminya menyuruhnya maka dia menaatinya, dan jika suaminya tidak ada maka dia memelihara hartanya. Seorang istri sholihah akan dibebaskan untuk masuk surga melalui pintu manapun. Asalkan memenuhi empat syarat. Yang pertama jika dia menjaga sholatnya. Kedua, berpuasa di bulan Ramadhan. Ketiga, menjaga kehormatannya, dan yang terakhir taat pada suaminya. Jadi alasan seorang istri sholihah masuk surga lantaran ia telah memenuhi hak Allah dan hak suaminya.”

*/Anizar Fajriana
Muslimat Hidayatullah Situbondo, Jawa Timur