Meniti Jalan Surga

16 Februari 2024

Oleh : Admin Mushida

mushida
Meniti Jalan Surga

“Aku turuti tamakku hingga ia memperbudakku”

“Aku cumbui duniaku hingga ia menghimpitku”

“Aku rindui fatamorgana hingga tak sadar berujung lena”

“Aku menantang takdirku hingga lelah melanda kalbu”

Siapa sesungguhnya Tuhanmu ?

Siapa Nabimu ?

Apa agamamu ?

Di ujung mana nanti diri berada ?

Renungkanlah, seberapa jauh langkah–langkah kehidupan selama ini menuai pahala. Mencipta bait-bait amalan demi membangun pondasi surga. Surga yang sesungguhnya, bukan surga dunia.

Siapkanlah diri untuk menyongsong hari itu, berkemas dari segala ampas dunia yang mungkin sudah kian membatu dalam raga dan kalbu. Jangan menciptakan kesedihan dalam menyayangi berlebihan segala nikmat fana ini yang mungkin pernah berharga, pernah menyapa, pernah menemani masa, karena segala bentuk kesenangan dunia ini tak akan tersisa, kecuali amal sholeh yang nantinya akan setia menemani, ketika bersendiri di lubang tanahnya bumi hingga kehidupan abadi terlahir kembali.

Menanti pertemuan dengan penduduk bumi lainnya setelah tidur panjang, bersua di atas butiran tanah padang mahsyar, mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama di dunia dengan hitungan timbangan keadilan yang sesungguhnya.

Allah berfirman:

“Barang siapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)

Tentu ruang balasan dari kebaikan yang telah Allah siapkan kepada peraih pahala tersebut tidaklah main main, tidak bisa diukur dalam hitungan dunia beserta isinya. Manusia mana yang sanggup menarik kepastian tentang seberapa besar balasan nikmat yang Allah beri bagi orang yang beriman serta mengerjakan amal sholeh hanya dengan pandangan ilmunya sendiri?

Walau semua ilmu datangnya dari Allah, namun manusia tetap memiliki keterbatasan dalam memahaminya secara sempurna sejenius apapun mereka. Hanya Allah yang mengetahuinya, sedangkan mereka tidak mengetahuinya, tentu perhitungan Allah sangatlah teliti.

Kita mungkin hanya sanggup menorehkan jejak-jejak amal dengan harapan meninggi kan diterima. Menaiki gunung dengan bekal keimanan, membasahi bukit menantikan guyuran cinta-Nya. Tak lepas berharap ampunan di sela kekurangan dan khilaf yang rutin menyapa. Menata kerindangan jiwa dan raga yang terkadang belum tercukupi hidayah serta nur cahaya dari-Nya. Tertatih siang dan malam di tengah aktivitas serta rutinitas seorang hamba.

Mengambil ibrah serta hikmah dari jejak kisah-kisah para Rasul dan nNabi, sahabat serta shahabiyah termulia di lorong lorong keajaiban dunia sebagai upaya untuk mengikat keimanan diri dengan panduan yang tak terbantahkan. Menyingkap tirai penutup demi menyibak lembaran-lembaran cemerlang yang mereka torehkan di dahi sejarah dengan tinta cahaya, sebuah kemusykilan akan terjadi kemiripan di era sekarang ini yang kacau akan nilai-nilai adab serta moral.

Kita hanya bisa mencontoh sosok para sahabat maupun shahabiyah termulia itu, namun sulit untuk berkaca atau meniru, tersebabkan nafsu yang sering kali menggelincirkan, atau diri yang masih terpenjara dalam pahatan dosa-dosa yang mungkin tak disengaja atau bahkan disengaja karena rasa lena, sehingga tak memungkinkan untuk menghasilkan pantulan sempurna atas ibrah yang ada. Kita hanya bisa kagum serta berguru semampunya, mempelajari serta mempraktekkannya dengan bantuan firman-Nya serta sunnah yang ada, namun akan masih jauh dari kata sempurna.

Tersebut bintang pertama di antara gugusan bintang Nubuwah. Sebuah simbol kesucian dan ketakwaan bersama bunga yang semerbak mewangi hingga memenuhi segala penjuru  dengan keharuman iman dan pengorbanan. Sosok Ummul Mukminin Siti Khadijah binti Khuwailid, pemimpin para ummul mukminin lainnya. Wanita yang memiliki hati nan bersih dan jiwa nan rela.

Suatu ketika dalam perenungannya ia mengulang pita rekaman memori masa lalunya, meski ia sukses dengan cemerlang karena kemampuannya dalam berniaga berkat karunia Allah , namun kecerdasan akan kebutuhan ruh sucinya memerlukan bekal dalam penghidupan kalbu. Ia memerlukan kekayaan jenis lain yang mampu menghantarkan jiwanya untuk meraih kekayaan nurani dan kelembutan perangai sebagai penghias kalbu jiwa serta raga.

Wanita mulia itu yakin bahwa kekayaan akan benda dan materi yang dimilikinya pasti akan lenyap seketika. Sementara kemuliaan belum tentu akan didapatkan hanya mengandalkan itu semua. Hingga dahaga ruh sucinya terpenuhi dengan kehadiran Muhmmad Rasulullah kekasih Allah yang menjadi pasangan hidup terakhirnya sampai takdir perpisahan atas kehendak Allah menjemput ajalnya.

Khadijah semasa hidupnya mendampingi Rasulullah mampu mengkibarkan kebahagiaan di atas rumah paling agung itu. Rumah tangga termulia sepanjang masa, membersamai Rasulullah Sang Idola. Semasa hidupnya bersama kekasih Allah Muhammad, Khadijah bukan sekedar berniaga dengan penduduk bumi, namun ada ikatan perniagaan dengan pemilik semesta. Hingga akhirnya, diri serta semua harta yang dipunyainya menjadi salahsatu pondasi tegaknya izzul Islam masa itu. Kecintaan sang suami pun tidak cukup dicurahkan ketika sosok mulia Khadijah masih ada, namun ketiadaan sosoknya pun masih menorehkan berkas cinta.

Masih banyak jejak jekak lainnya para shahabiyah dalam meniti karirnya di dunia demi menggapai cahaya surga. Bermodalkan iman ketika harus berperang dengan yang namanya ujian. Setiap masa berulang, ujian selalu datang, tak sedikit yang harus melalui proses terjatuh berkali-kali bahkan  menjatuhkan diri berharap kasih dan sayang-Nya terlebih dahulu ketika jalan yang dilalui terasa sempit dan berliku, agar proses perjalanan takdirnya lebih  terasa ringan sehingga mampu dimaknai sebagai pembuka jalan untuk lebih dekat dengan RabbNya.

Makna memiliki diukir dengan kesyukuran, sedangkan makna kehilangan tak akan berarti tanpa ikatan iman. Sehingga yang dimiliki mampu menjadi corong untuk menuai kebaikan  tanpa harus menghentikan ikhtiar dan mujahadah lainnya. Jatuh untuk bangkit namun tetap mawas diri dengan meminta pertolongannya dariNya dalam kaitan doa doa panjang. Berharap titian surga akan lebih mudah untuk dijalani hingga akhirnya bertemu Rabb pemilik cinta sejati.

Allah berfirman:

Apakah manusia akan mengira bahwa mereka akan dibiarkan dengan berkata, “kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut ayat 2)

*/Dede Agustina (Kabid Organisasi PP Mushida)