Al-Qur’an turun menyempurnakan ajaran dari ajaran-ajaran sebelumnya. Al-Qur’an juga hadir sebagai jawaban dari permasalah yang ada di muka bumi untuk kemudian dijadikan sebagai sandaran kembali kepada-Nya. Demikian halnya Al-Qur’an juga menceritakan berbagai kisah orang-orang terdahulu agar orang-orang beriman mengambil hikmah dan ibrah darinya.
Banyak kisah yang diceritakan dalam Al-Qur’an juga pada hadits Rasulullah. Hal ini sebagai pegangan untuk kita jadikan suatu perenungan dan muhasabah diri dari keimanan dan keislaman, apakah sudah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya ataukah hanya sekadar ucapan tanpa ada tindakan. Jangan sampai tanpa kita disadari, melakukan penipuan terhadap Allah di mana mengaku beriman dengan lisan, sementara hati mendustakan ucapannya.
Diceritakan dalam sebuah kisah, seorang pemimpin yang hidup di masa Rasulullah di Madinah, dia adalah Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang yang mengaku-ngaku muslim secara dzohir namun hatinya masih berada dalam kekufuran. Ucapan dan perilakunya menunjukkan bahwa dia bagian dari kaum muslimin namun tindakannya yang lain menunjukkan bahwa dia sangat benci dengan Islam. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah Sallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda “Dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah Sallallāh ‘alaihi wa sallam bersabda: Tanda-tanda orang munafik ada tiga: Bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia mengingkari dan bila dipercaya ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbuatan munafik merupakan perbuatan seseorang menyembunyikan kekafirannya dan menampakkan secara lisan bahwa dia beriman kepada Allah. Munafik terbagi menjadi dua bagian yakni nifaq i’tiqad dan nifaq amalia. Sebagai seorang muslim tentu perlu berhati-hati dari sikap ini. Karena akan menggelincirkan diri dari keimanan yang dimiliki.
Sebagai manusia biasa kita memang tak luput dari kekhilafan dan dosa, kadang juga tidak sadar melakukan sesuatu yang salah, tapi di sisi lain kita diberi nikmat akal dan nikmat ilmu untuk selalu mempelajari sesuatu, jika sudah tahu salah maka segeralah untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Banyak di antara kita yang tidak sadar bahwa dalam diri mereka ada tanda-tanda kemunafikan yang sangat di murkai oleh Allah. Orang munafik lebih berbahaya daripada orang kafir, sedangkan orang kafir akan terang-terangan memusuhi Islam itu sendri.
Allah Subhānahu wa Ta’ālā sangat mengancam sifat munafik ini sebagaimana dalam firman-Nya:
اِنَّ الۡمُنٰفِقِيۡنَ فِى الدَّرۡكِ الۡاَسۡفَلِ مِنَ النَّارِ ۚ وَلَنۡ تَجِدَ لَهُمۡ نَصِيۡرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu akan dicampakkan ke dalam kerak neraka dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 145)
وَعَدَ اللّٰهُ الۡمُنٰفِقِيۡنَ وَالۡمُنٰفِقٰتِ وَالۡـكُفَّارَ نَارَ جَهَـنَّمَ خٰلِدِيۡنَ فِيۡهَا ؕ هِىَ حَسۡبُهُمۡ ۚ وَلَـعَنَهُمُ اللّٰهُ ۚ وَلَهُمۡ عَذَابٌ مُّقِيۡمٌ
“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.” (QS. At-Taubah: 68)
Begitulah gambaran hukuman dari Allah untuk manusia-manusia yang memiliki sifat munafik. Bagaimana Allah tidak murka akan sifat ini yang jelas-jelas sangat mempermainkan Allah. Mereka mendustai apa-apa yang mereka ketahui, mereka berbuat seolah-olah Allah tidak mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, mereka lupa bahwa Allahlah sang pemilik hati seluruh manusia, Dialah yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang ada di muka bumi ini.
Untuk itu, ketika seseorang mengaku bahwa ia beriman kepada Allah maka janganlah mendustai perintah-Nya, lakukanlah apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang ibu, seoarang istri, dan sebagai seorang anak bagi ibunya. Demikian halnya ketika mengaku beriman kepada Nabi Muhammad Sallallāhu ‘alaihi wa sallam amalkan ajarannya, laksanakan sunnah-sunnahnya, jangan memperpermainkan ajaran tersebut dengan perilaku yang tidak mencerminkan sebagai seorang muslim yang baik.
Rasulullah bersabda:
لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا
“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia tidak tersisa sedikitpun.” Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak mengetahuinya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka salat malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyepi (tidak ada orang lain yang melihatnya) dengan apa-apa yang diharamkan Allah, maka mereka terus (segera) melanggarnya.” (HR Ibnu Majah).
Sebagai saudara seiman, mari kita saling memberi nasihat kebaikan untuk mengingatkan bahaya sifat munafik. Banyak juga dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat, orang yang berkata bijak tapi juga melakukan kemungkaran, mengaku beriman tapi sedikit sekali amalan yang dilakukan, bahkan apa yang dia katakan atau dia serukan, tapi sangat sedikit yang dia kerjakan.
Maka perlu adanya taklim-taklim untuk saling menguatkan dan mengingatkan akan bahaya-bahaya yang mengintai keimanan kita. Perlunya saling memberikan masukan dan bermuhasabah untuk mengukur sejauh mana amalan dan ibadah yang dikerjakan sudah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadits. Untuk itu mari terus memperbaiki diri agar Allah memantaskan kita semua agar bisa berkumpul di surganya hidup bersama Rasulullah. */ Ratu Syuhadah, Ketua Departemen Organisasi PP Mushida