Part II
Harri Ash Shiddiqie, dalam bukunya yang berjudul “Fanshob, Jangan Hanya Diam”, mengklasifikasi beberapa jenis sikap manusia terkait rasa syukur.
Ada yang mengerti ilmu bersyukur dan mau bersyukur. Ada yang mengerti ilmu bersyukur tapi menunda bersyukur. Ada yang faham ilmu bersyukur tapi tidak mau bersyukur. Ada yang tak pernah bersyukur tapi merasa telah banyak bersyukur. Ada yang menikmati segala kenyamanan sepuas-puasnya sampai lupa diri, menurutnya itulah bersyukur.
Berada di level mana kah kita?
Allah SWT berfirman, “Jika kalian bersyukur maka sungguh akan Aku tambahkan (nikmat-Ku) kepada kalian, dan jika kalian kufur sesungguhnya azab-Ku sangatlah berat.” (QS. Ibrahim: 7).
Berbicara tentang rasa syukur. Mari sejenak kita melipir ke masa berbelas abad yang lampau. Menyelami sebuah fragmen menyejarah, kisah indah tentang Abu Qilabah sang sahabat Rasulullah.
Kisah Abu Qilabah ini merupakan salah satu kisah sahabat yang mengharukan. Dari kisah Abu Qilabah ini kita bisa belajar bagaimana mensyukuri apa pun yang kita miliki dan tetap bersabar dengan apa yang menimpa kita.
Kisah ini dinukilkan dari kitab ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban, diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad.
Suatu ketika, tutur Abdullah bin Muhammad, ia pernah berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir. Ia melihat sebuah kemah kecil, yang dari kemahnya menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang sangat miskin. Lalu Abdullah pun mendatangi kemah yang berada di padang pasir tersebut untuk melihat siapa yang ada di dalamnya.
Kemudian matanya menampak sosok seorang laki-laki tua yang sedang terbaring tak berdaya. Yang menakjubkan, lisan lelaki itu tak henti-henti mengucapkan,
âYa Allah berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Segala puji bagi Allah yang telah melebihkanku di atas banyak manusia.â
Abdullah yang heran mendengar ucapannya, lalu beranjak mendekatinya. Ia mengamati kondisi lelaki tua itu sambil mencari cari keberadaan orang lain di sekitarnya. Apakah lelaki ini memiliki anak yang mengurusinya? Atau isteri yang menemaninya? Ternyata tak ada seorang punâŠ
Lelaki tua itu sepertinya merasakan kehadiran Abdullah. Ia lalu bertanya: âSiapa? siapa?â
âAssalaamuâalaikum⊠aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini,â jawab Abdullah. âTapi kamu sendiri siapa?â Abdullah balik bertanya.
âMengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu?” Lanjut Abdullah.
âAku seorang yang sakit, semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal,â lirih lelaki tua itu menjawab rentetan pertanyaan Abdullah.
Abdullah yang masih merasa penasaran kembali bertanya pada lelaki tua itu. âKudengar kau mengulang-ulang perkataan: âSegala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak manusia. Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara. Nikmat apa yang engkau syukuri?â
Lelaki tua itu, yang sedang lemah tak berdaya, menjawab rentetan pertanyaan Abdullah dengan kalimat-kalimat yang yang sungguh menyentak dan menggetarkan hati.
âWahai saudara, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya laut tersebut akan menenggelamkanku atau gunung api yang pasti aku akan terbakar atau dijatuhkan langit kepadaku yang pasti akan meremukkanku. Aku tidak akan mengatakan apapun kecuali rasa syukur.
Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir?
Berapa banyak orang yang gila? Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia. Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku? Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.
Berapa banyak orang yang tuli tak mendengar? Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.
Bukankah Allah memberiku lisan yg dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku? Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara? Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.
Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya, mengharap pahala dari-Nya, dan bersabar atas musibahku? Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat. Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tersebut.â
Lelaki tua itu terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu. Abdullah semakin tenggelam dalam ketakjuban terhadap kekuatan iman lelaki tua itu. Keyakinan lelaki itu begitu mantap. Rasa syukur dan penerimaannya terhadap pemberian Allah sungguh tak terukur.
Saat Abdullah masih termangu dalam ketakjubannya, lelaki tua itu kembali bersuara lirih.”Aku juga memiliki seorang anak yang setiap tiba waktu sholat ia selalu menuntunku untuk ke masjid dan ia pula yang menyuapiku. Namun sejak tiga hari ini dia tidak pulang kemari. Bisakah engkau tolong carikan dia?â
Abdullah pun menyanggupinya dan segera beranjak pergi untuk mencari putra lelaki tua itu. Setelah beberapa saat mencari, ia mendapati jenazah yang sedang dikelilingi oleh burung gagak. Ternyata sang putra sudah dimakan oleh singa. Kondisinya mengenaskan, tubuhnya telah tercabik-cabik dan menjadi santapan burung gagak.
Sungguh berat hati Abdullah menyampaikan berita tersebut. Ia menyampaikannya dengan sangat berhati-hati. Tak ingin menambah beban kesedihan lelaki tua yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan tersebut.
Namun, betapa takjubnya Abdullah. Reaksi lelaki tua itu ketika mendengar berita yang dibawanya, tak seperti yang dibayangkannya. Bukannya meratap penuh kesedihan, atau mengutuk penuh amarah atas nasib buruk yang terus menerus menderanya. Lagi-lagi, hanya kalimat kesyukuran yang keluar dari lisan mulia lelaki tua tersebut.
“Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang tak meninggalkanku seorang anak yang bermaksiat kepada-Nya, yang dengannya ia diazab di neraka (maksudnya, putranya adalah anak sholeh yang tak pernah melakukan maksiat kepada-Nya).”
Tak lama berselang setelah ia mendengar berita kematian putranya tersebut, lelaki tua itu pun berpulang dengan damai. Belakangan, barulah Abdullah mengetahui jika lelaki tua itu adalah Abu Qilabah, seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang disebut-sebut sebagai salah satu generasi sahabat terakhir yang tersisa di masa itu.
Subhanallah. Seorang Abu Qilabah, dalam kemiskinan, kecacatan, kesendirian dan ketakberdayaannya masih mampu terus melarung rasa syukur kepada Rabb Pemilik Semesta, Allah ‘Azza wa Jalla. Sementara diri ini, yang masih diberi kecukupan materi, kenyamanan tempat tinggal, kesempurnaan fisik, kesehatan, dan gelimang nikmat lainnya, masih harus tertatih mengeja syukur. Bahkan tak jarang menyerempet kufur karena lupa cara bersyukur.
Kisah Abu Qilabah sungguh membuatku terpekur dalam tafakkur. Betapa rasa syukur harus selalu ditumbuhkan, agar terhindar dari kufur. Semoga aku, kamu, kita semua selalu termasuk dalam golongan orang-orang yang bersyukur. */Zahratun Nahdhah, Ketua Departemen Perkaderan PP Mushida