Christina Onasis adalah seorang Wanita berkebangsaan Yunani, putri milyuner terkenal Onasis. Ayahnya Onasis adalah seorang milyarder besar yang terkenal memiliki pulau-pulau dan armada-armada laut.
Singkat cerita, Christina telah menikah dengan seorang laki-laki Bangsa Amerika ketika ayahnya masih hidup. Mereka hidup selama beberapa bulan kemudian bercerai. Christina mengalami banyak tragedi dalam hidupnya. Kakaknya Alexander meninggal dalam kecelakaan pesawat pada tahun 1973 yang sangat mempengaruhi keluarganya. Ibunya meninggal karena overdosis pada tahun 1974, dan disusul ayahnya yang meninggal pada tahun 1975. Sepeninggal ayahnya Christina mewarisi sebagian besar kekayaan keluarga dan mengambil alih bisnis keluarga.
Christina memperoleh warisan dari ayahnya senilai lebih dari lima ribu juta real (mata uang Saudi Arabia) di samping sejumlah armada laut, pulau-pulau dan perusahaan-perusahaan penerbangan.
Tak lama setelah perceraian yang pertama, Christina menikah lagi dengan seorang laki-laki berkebangsaan Yunani. Ia berumah tangga selama beberapa bulan, setelah itu mereka bercerai.
Setelah perceraiannya yang kedua, Christina lama tak bersuami. Kemudian, untuk ketiga kalinya ia menikah dengan seorang Komunis berkebangsaan Rusia. Sungguh suatu keanehan yang nyata. Tokoh kapitalis bertemu dengan tokoh komunis. Ketika orang banyak dan para wartawan melontarkan pertanyaan kepadanya, ”Sebagai wanita yang banyak memainkan peranan ideologi Kapitalis, mengapa anda mau menikah dengan laki-laki yangmenganut ideologi Komunis?” Maka dengan lugas Christina menjawab, “Karena aku mencari kebahagiaan.”
Selang beberapa lama setelah menikah, Christina diboyong ke Rusia. Undang-undang yang berlaku di Rusia tidak membolehkan sesorang memiliki rumah yang kamarnya lebih dari dua. Undang-undang tersebut juga tidak membenarkan seseorang mempunyai pembantu. Maka jadilah Christina sebagai pembantu di rumahnya sendiri. Pada suatu kesempatan, Christina di datangi para wartawan yang sejak lama mengintai kehidupannya. Dengan nada heran, para wartawan itu mengajukan pertanyaan kepada Christina, ”Bagaimana semua ini bisa terjadi?” Maka jawab Christina, ”Aku ingin mencari kebahagiaan.” Christina ternyata dapat bertahan hidup berumah tangga dengan suaminya yang ketiga ini selama setahun. Setelah itu mereka bercerai.
Selang beberapa lama setelah peristiwa itu, Christina didapati di suatu pesta yang diselenggarakan di Perancis. Pada kesempatan itu, para wartawan mengajukan pertanyaan kepada Christina, ”Bukankah Nyonya ini wanita terkaya si dunia?” Christina menjawab, ”Ya, aku adalah wanita terkaya di dunia, tetapi aku juga adalah wanita yang paling sengsara di dunia.” Christina yang lahir di New York pada 11 Desember 1950 meninggal di usia 37 tahun tepatnya tanggal 19 November 1988. Sebagaimana majas Paradoks, ”Adakah orang kaya yang miskin?” Atau sebagaimana peribahasa, ”Bagaikan tikus mati di lumbung padi.” Kita semua adalah sang pengelana, akan berakhir seperti apa perjalanan kita? Sepenuhnya tergantung bagaimana memahami pedoman hidup yang menjadi petunjuk menapakinya.
Fitrah Akan Keseimbangan
Allah Jalla wa a’la telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam keseimbangan. Hal ini menjadi isyarat bagi manusia untuk hidup dalam keseimbangan pula. Keseimbangan hidup akan dicapai jika manusia hidup selaras dengan fitrahnya.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam) sesuai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum: 30)
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa manusia itu diciptakan sesuai fitrah Allah yaitu memiliki naluri beragama tauhid (al-Islam) dan Allah ‘azza wa jalla menghendaki manusia tetap dalam fitrah itu. Jika ada yang melampaui ketentuan Allah tersebut, biasanya pengaruh lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan fitrah Allah, manusia memiliki tiga potensi, yaitu jasad, akal dan ruhani. Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang). Masing-masing diberikan sesuai haknya tanpa penambahan dan pengurangan. Tarbiyah yang dilakukan oleh Hidayatullah yang dimulai sejak usia dini sudah mencakup ketiga potensi dasar manusia tersebut. Tarbiyah Tsaqafiyah, Tarbiyah Jasadiyah, Tarbiyah Ruhiyah, Tarbiyah Iqtishadiyah dan Tarbiyah Ijtima’iyah.
Jasmani atau fisik adalah amanah dari Allah Subhanahu wata’ala yang harus dijaga. Bahkan beribadah membutuhkan fisik yang prima. Dalam sebuah hadits disebutkan, ”Mukmin yang yang kuat itu lebih baik atau lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah.” (H.R Muslim)
Agar menjadi kuat, jasmani memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi yakni makanan yang halal dan baik (halalan tahyyiban), kebiasaan makan dan minum yang sehat, tidur dan istirahat yang tepat, olahraga, dan kebutuhan biologis lainnya.
Potensi akal hanya diberikan kepada manusia, inilah yang membedakan dengan makhluk kainnya. Akal pulalah yang menjadikan manusia lebih mulia karena dengan akalnya manusia mampu memahami hakikat sesuatu. Mampu melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi ardhi (Q.S. 2:30; 33:72). Kebutuhan akal adalah ilmu untuk pemenuhan sarana hidupnya.
Potensi dasar berikutnya adalah ruh, yangn kebutuhannya adalah dzikrullah (Q.S. 13:28); 62:9-10). Pemenuhan kebutuhan ruhani sangat penting, agar ruh tetap memiliki semangat hidup. Tanpa pemenuhan kebtuhan tersebut jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepadanya.
Ketiga potensi yang telah diberikan oleh Rabb pemilik semesta harus berjalan seimbang, jika salah satunya tidak berfungsi maka kesudahannya akan tergambar dari kisah-kisah para pengelana sebagaimana kisah di atas.
“قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ”
(رواه مسلم)
“Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk kepada Islam, hidupnya dengan rezeki yang sekedar mencukupi kebutuhannya, dan dia puas dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Muslim).*
*/Hani Akbar, S.Sos.I (Ketua Umum PP Muslimat Hidayatullah)