‘Amr bin Ash menghampiri Rasulullah Saw setelah penunjukannya sebagai panglima perang Dzatussalasil di masa keislamannya yang baru beberapa bulan. Ada kebahagiaan yang memenuhi hatinya, karena dia terpilih untuk memimpin para sahabat senior sekaliber Umar bin Khattab. “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling engkau cintai?” tanyanya tiba-tiba, Rasulullah Saw mencawab spontan, “Aisyah.” ‘Amr pun menjelaskan maksud pertanyaannya, “dari kalangan laki-laki, wahai Rasulullah.” Rasul pun menjawab, “Ayahnya (Abu bakar).” Jawab beliau. ‘Amr melanjutkan tanyanya, “lalu siapa?” “Umar” “lalu siapa?” Rasulullah menjawab dengan menyebut nama beberapa sahabat senior, sedangkan nama yang dia harapkan disebut tidak juga kunjung beliau sebut, maka diapun mencukupkan tanyanya, khawatir namanya tidak ada dalam deretan nama yang beliau sebutkan. Kebahagiaan yang menyeruak di hati ‘Amr ternyata karena dia merasa menjadi orang yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw.
Cinta yang diberikan oleh Rasulullah Saw kepada Abu Bakar bukanlah tanpa sebab. Sebagaimana cinta beliau kepada Ibunda Khadijah yang tidak lekang oleh berlalunya waktu, tidak habis walaupun Khadijah telah tiada, begitulah cinta beliau kepada Ayah dari Ibunda Aisyah ini. Ada sebab yang menjadikan cinta beliau kepada Abu Bakar tak terkalahkan. Sebab cinta itu adalah keimanan dan etos kerja yang terpancar dari iman.
Dalam hal keimanan, Abu Bakar mendapat julukan Ash-Shiddiq karena selalu membenarkan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Rasulullah Saw., dia lah yang bergelar “Tsaniyatsnain” teman setia yang menemani perjalanan hijrah Rasulullah Saw. Sahabat yang mengorbankan dirinya, menahan rasa sakitnya, merobek bajunya demi kenyamanan Rasulullah Saw. Sedangkan dalam hal etos kerja, mari kita mengulang tanya yang diutarakan oleh Rasulullah kepada para sahabat di suatu majelis.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ صَائِمًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ جَنَازَةً قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مِسْكِينًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ عَادَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مَرِيضًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (kepada para sahabat), “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini berpuasa?” Abu Bakar berkata, “Saya.”
Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengiringi jenazah?” Maka Abu Bakar berkata, “Saya.”
Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?” Maka Abu Bakar mengatakan, “Saya.”
Lalu beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit.” Abu Bakar kembali mengatakan, “Saya.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Tidaklah ciri-ciri itu terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti akan masuk surga.” (HR. Muslim, no. 1028).
Etos kerja dalam Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Toto Tasmara adalah cara pandang yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga sebagai suatu manifestasi dari amal shaleh, dan oleh karenanya, mempunyai nilai ibadah yang sangat luhur.
Etos kerja yang dibangun oleh Abu Bakar dalam dirinya, bukanlah untuk mendapatkan jabatan, bukan untuk mencari muka di hadapan Rasulullah Saw., bukan pula untuk mengalahkan sahabat-sahabat lainnya dalam berkarya. Abu Bakar melakukan semua pekerjaannya, mengungguli para sahabat lainnya karena memiliki cara pandang yang benar terhadap suatu amal dan pekerjaan yang dia lakukan. Abu Bakar Al-Muzani berkomentar tentang sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu dalam Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam milik Ibnu Rajab 1:225.
مَا فَاقَ أَبُوْ بَكْرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – أَصْحَابَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِصَوْمٍ وَلاَ صَلاَةٍ ، وَلَكِنْ بِشَيْءٍ كَانَ فِي قَلْبِهِ ،
“Tidaklah Abu Bakar itu melampaui para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (semata-mata) karena (banyaknya) mengerjakan puasa atau shalat, akan tetapi karena iman yang bersemayam di dalam hatinya.”
قَالَ : الَّذِي كَانَ فِي قَلْبِهِ الحُبُّ للهِ – عَزَّ وَجَلَّ – ، وَالنَّصِيْحَةُ فِي خَلْقِهِ
“Mengomentari ucapan Al-Muzani tersebut, Ibnu ‘Aliyah mengatakan, “Sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya adalah rasa cinta kepada Allah ‘azza wa jalla dan sikap nasihat (ingin terus memberi kebaikan) terhadap (sesama).”
Jika etos kerja dapat dinilai dari beberapa indikator, seperti: kerja keras, kejujuran, tanggung jawab, rajin bekerja, yang semua itu bermuara pada tiga dimensi, yaitu: dimensi perilaku, dimensi output, dan dimensi outcome/ value. Maka, ketiga dimensi tersebut erat kaitannya dengan keimanan. Semakin baik keimanan seseorang kepada Allah Swt, semakin tinggi cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, semakin tinggi keyakinannya kepada hari akhir, semakin baik pula cara pandangnya terhadap suatu pekerjaan.
Apa yang dicontohkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan menomorsatukan keyakinannya pada apa yang disampaikan Rasulullah Saw hingga mendapatkan urutan cinta teratas dari beliau, dan mewarnai etos kerjanya, adalah hal terpenting untuk dijaga dan selalu ditingkatkan kualitasnya. Namun, menjaga kualitas iman untuk selalu sempurna bukanlah hal yang mudah. Kita perlu menjaganya bersama dengan menjunjung budaya organisasi agar selalu berada dalam atmosfer keimanan, merawatnya bersama dengan selalu menjaga hati agar tetap berada dalam ikatan suci iman dan terbebas dari ghil yang mengotori bahkan menjadikannya berkarat.
Allah, beri kami daya untuk selalu dapat mengambil semua yang Rasul-Mu sampaikan dan menahan diri dari semua hal yang beliau larang. Allah, ampuni kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami, jangan biarkan ghil (sedikit kedengkian) ada dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Aamiin.*/Sarah Zakiyah, M.Pd. (Sekretaris Jenderal PP Mushida)