Silaturrahmi Mushida Bersama Muslimah Palestina

11 Desember 2013

Oleh : admin

mushida

MUSHIDA.ORG — Siapa bilang urusan pembebasan Masjid al-Aqsha, Palestina hanya milik kaum laki-laki saja? Seorang  wanita Muslimah dan anak-anakpun bisa berperan besar dalam membebaskan kiblat pertama kaum Muslimin tersebut dari cengkeraman kuku Yahudi saat ini.

Ini terlihat ketika acara silaturahim ibu-ibu warga Hidayatullah Gunung Tembak bersama Hanun Ebtihal, seorang mujahidah kelahiran Gaza, Palestina.

Acara Silaturahim Ramadhan yang bertempat di Aula Serba Guna Hidayatullah, Balikpapan, Kalimantan Timur tersebut diprakarsai oleh Muslimat Hidayatullah (Mushida), Ahad (21/07/2013).

Menurut Hanun, bagi seorang Muslimah, banyak cara membantu perjuangan pembebasan al-Aqsha. Mulai dari menyisihkan sebagian harta keluarga hingga dengan usaha memperbaiki kualitas keimanan dan keislaman diri sendiri. Tak lupa Hanun bersyukur atas upaya penerapan syariat Islam di Kampus Gunung Tembak.

 “Alhamdulillah, saya melihat upaya penerapan syariat Islam dalam lingkungan ini. Saya berdoa, dengannya Masjid al-Aqsha tidak lama lagi kembali ke pangkuan kaum Muslimin,” ucap Hanun, diamini serentak oleh ibu-ibu peserta silaturahim.

Hal yang tidak kalah pentingnya, masih menurut Hanun, hendaknya setiap Muslimah  mempunyai tsaqafah (wawasan) yang baik mengenai Masjid al-Aqsha.

 “Wawasan tentang fadhilah (keutamaan), bangunan fisik, sejarah, dan lain sebagainya,” lanjut ibu yang juga pengajar di sebuah ma’had tahfidz (penghafal) al-Qur’an.

Menurutnya, dengan pengetahuan tersebut, niscaya umat Islam semakin cinta dan siap berkorban untuk pembebasan al-Aqsha.

Selanjutnya, di antara sumbangsih kaum wanita dalam membebaskan al-Aqsha, dengan cara mendidik anak-anak Muslim dengan pendidikan tauhid yang benar.

 “Tugas utama seorang wanita Muslimah adalah menyiapkan anak-anaknya sebagai generasi tangguh dalam melanjutkan dakwah dan perjuangan ini,” ujar Hanun.

Ia lalu menjelaskan, hikmah mengapa al-Qur’an mengajarkan, ”Dan katakanlah, Wahai Tuhanku, sayangilah mereka berdua sebagaimana mereka mendidikku ketika kecil.“ Mengapa bukan, ”Sebagaimana ibu melahirkanku.”? Sebab tidak semua ibu yang sanggup melahirkan lalu mampu mendidik anak-anaknya.

Belajar dari Kisah Mahmud

Terakhir, wanita mujahidah tangguh ini bercerita kisah Mahmud, saudara sepupunya dalam menjemput syahid di jalan Allah.

 “Ia baru saja meninggal beberapa waktu yang lalu,” ucap Hanun mengawali kisahnya sambil tersenyum bahagia.

Semangat berislam Mahmud sudah tampak sejak masih usia belia. Terkadang, ketika lagi asyik bermain, tiba-tiba ia kumpulkan teman-temannya untuk duduk sejenak bicara untuk kebaikan.

“Mari sejenak kita berbicara tentang Islam,” ujar Mahmud kepada teman-temannya seperti ditirukan Hanun.

Satu hal yang berbeda dari Mahmud, menurut Hanun, Mahmud kecil suka melakukan kebaikan berbeda dalam sehari. Jika hari ini ia banyak mengeluarkan sedekah, maka besok ia ubah dengan khusus berbakti kepada orangtua, dan seterusnya.

Keinginan untuk mati syahid juga terpancar dari kebiasaan Mahmud berdoa setiap saat. Suatu ketika, tutur Hanun, Mahmud kecil “nekat” mendatangi seorang Imam Masjid al-Aqsha.

“Tolong doakan saya agar mati dalam keadaan tubuh bercerai berai,” pinta Mahmud tegas.

Sang imam pun kaget dengan permintaan Mahmud.

“Karena aku ingin setiap jengkal tanah yang kupijak bersaksi atas kematianku pada hari Kiamat nanti,” jelas Mahmud mengurai keraguan imam masjid tersebut. Waktu pun terus berlalu hingga akhirnya Mahmud benar-benar syahid sesuai dengan keinginannya itu.

Dalam kegiatan Silaturahim Ramadhan ini, Mushida Gunung Tembak juga berinisiatif melakukan penggalangan dana solidaritas Palestina. Meski terkesan spontan, rupanya hal itu tak mengurangi keinginan ibu-ibu warga Hidayatullah untuk berinfak. Terbukti, di akhir acara Mushida berhasil mengumpulkan dana infak puluhan juta rupiah. Dana tersebut akan disalurkan kepada umat Islam di Gaza, Palestina.

Kiriman Masykur, koresponden hidayatullah.com di Balikpapan