Muslimat Hidayatullah Vitalisasi Pendidikan Inklusi

18 Maret 2015

Oleh : admin

mushida

Muslimat Hidayatullah (Mushida) yang memegang amanah pengelolaan institsui pendidikan tingkat usia dini dan dasar di lingkungan ormas dan Pesantren Hidayatullah, berkomitmen untuk terus meningkatkan peran pendidikan yang inklusif sebagaimana telah diamanatkan dalam peraturan pemerintah.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang integral, Muslimat Hidayatullah memandang penerapan dan pengembangan pendidikan inklusi adalah tuntutan yang harus terus ditingkatkan.

Seperti diketahui, pemerintah telah menjamin terlaksananya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang mengeluarkan peraturan mengenai pendidikan nasional (permendiknas) Nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Ketua Umum Pengurus Pusat Muslimat Hidayatullah (PP Mushida), Reni Susilowati, dalam sebuah kesempatan rapat dan sekaligus silaturrahim dengan orangtua murid SDI Hidayatullah Depok, mengatakan, bahwa hendaknya setiap lembaga pendidikan menerapkan pola pendidikan yang inklusif.

Inklusif, kata Reni, berarti praktik edukasi di intitusi pendidikan yang melibatkan semua peserta didik tanpa terkecuali. Untuk itu dibutuhkan kurikulum yang menciptakan pembelajaran yang ramah sebab untuk memahami keberagaman anak, guru harus mengubah strategi belajar buruk.

“Dalam sistem pendidikan berbasis Tauhid yang digagas oleh Hidayatullah, pola pendidikan inklusi telah masuk di sana. Di mana semua murid memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perhatian dan pendampingan. Alhamdulillah kita jalankan ini bersama dengan kurikulum dari pemerintah yang membuatnya semakin padu dan aplikatif,” kata Reni.

Kendati demikian, Reni mendorong segenap penyelenggara pendidikan terus melakukan inovasi dan strategi belajar mengajar yang selama ini dinilai belum terarah dengan baik. Ia mencontohkan, guru kerap hanya memberikan ceramah sehingga sensoris yang diterima anak kurang.

Seharusnya, menurut Reni, metode pembelajan yang konfrehensif saat ini sebenarnya sudah semakin mudah dilakukan baik melalui sarana multimedia atau pola pembelajaran yang bersifat outdoor tetapi tetap dalam kontrol.

Dia juga memandang Kurikulum 2013 (K-13) meski masih memiliki sejumlah kekurangan di sana-sini, K-13 dinilai cukup tepat untuk anak sekolah inklusif apabila dikelola dan tidak adanya kesalahan pada buku dan proses penilaian akhir.

Sebagaimana diketahui, pendidikan inklusif berarti menghargai dan mengakui bahwa semua anak berbeda dan semua anak dapat belajar. Salah satu aspek penting adalah anak mendapat hak yang sama, pendidikan adil, tidak diskriminatif dan relavan, dan partisipasi aktif.

Sebagaimana juga diharapkan para pemerhati pendidikan, Reni mendorong semua pihak penyelenggara sekolah inklusif harus mengerti beragai kondisi kekhususan anak, dan mampu mengindentifikasi kondisi-kondisi kekhususan kepada anak selama anak belajar sekolah tersebut.

“Untuk di lingkungan Pesantren Hidayatullah di seluruh nusantara, Insya Allah, semangat penyelenggaraan pendidikan yang inklusif ini telah sejak lama diterapkan. Sebab, selain sebagai pondok pesantren, Hidayatullah juga lembaga sosial yang berorientasi pemberdayaan manusia,” pungkasnya. (cha/sym)