Seminar Internasional Muslimat Hidayatullah di Jakarta

09 Juni 2015

Oleh : admin

mushida

Ditulis oleh Zahratun Nahdhah*

“PEREMPUAN itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena paling-paling pekerjaannya tidak jauh-jauh dari kasur, sumur dan dapur”

“Perempuan itu tugasnya ya masak, nyuci, beres-beres rumah, ngurus anak dan suami”. Anda sering mendengar celetukan seperti itu? Sama, saya juga.

Jika anda termasuk orang yang setuju dengan pendapat usang tersebut, persepsi anda pasti akan berubah seratus delapan puluh derajat setelah mengikuti acara yang diselenggarakan oleh Muslimat Hidayatullah yang satu ini.

Senin, 8 Juni 2015 kemarin, Muslimat Hidayatullah menyelenggarakan gawean besar berupa Seminar Internasional yang menghadirkan pembicara-pembicara dari dalam dan luar negeri.

Seminar bertajuk “Muslimah dan Pembangunan Peradaban Islam” ini diikuti oleh hampir 200-an peserta yang berasal dari berbagai organisasi kewanitaan Islam Indonesia.

Acara yang dihelat di Hotel Grand Menteng, Matraman, Jakarta ini dibuka oleh Sekjen PP Muslimat Hidayatullah, Ir. Amalia Husnah Bahar, MM.

Pembukaan
Dalam sambutannya, Amalia menyampaikan apresiasinya terhadap seluruh pihak yang berpartisipasi dalam acara ini, sebagai panitia maupun peserta. Acara ini, diibaratkan Amalia seperti “hidangan lezat” dari Allah yang harus dinikmati sebaik-baiknya.

Sebelum membuka acara secara resmi, Amalia memberikan sedikit pengantar terkait konsep peradaban sebagai manifestasi keyakinan dalam seluruh aspek kehidupan.

Beliau juga mengutarakan konsep wahyu yang dijadikan rujukan dan referensi utama dalam pembentukan keluarga, yang akan melahirkan profil keluarga yang tershibghoh oleh “shibghotullah”, keluarga yang terwarnai dengan celupan nilai-nilai yang bersumber dari wahyu.

Untuk itulah, papar Amalia, Muslimat Hidayatullah memiliki visi ” Membangun Keluarga Menuju Peradaban Islam”.

Selanjutnya, bertindak sebagai keynote speaker, tampil Ust. DR. Abdul Mannan yang juga Ketua Umum PP Hidayatullah membawakan materi bertajuk “Membangun Peradaban Dalam Perspektif Al Qur’an”.

Dalam paparannya, DR. Abdul Mannan menguraikan panjang lebar tentang apa itu peradaban, dan bagaimana langkah dan proses yang harus ditempuh untuk membangun peradaban.

Peradaban, papar beliau, adalah segala aspek kehidupan yang bersumber dari iman. Tanpa membangun peradaban, dunia akan lebih cepat kiamat. Kunci peradaban adalah ilmu. Kita sebagai pembangun peradaban, apabila tidak kuat ilmunya, akan tergilas oleh ketidakadaban.

Lebih lanjut lagi, DR. Abdul Mannan menguraikan bahwa Al Qur’an merupakan sumber peradaban. Lima surat yang pertama turun, yakni Al Alaq, Al Qolam, Al Muzzammil, Al Muddatsir dan Al Fatihah merupakan grand design pembangunan peradaban.

Hidayatullah, sebut DR. Mannan, berupaya membangun peradaban dengan menggunakan manhaj nubuwwah yang dikerangkakan dalam Sistematika Nuzulnya Wahyu (SNW), yakni manhaj yang bersumber dari pola Rasulullah dalam membangun peradaban yang bersumber dari wahyu, dengan lima surat yang pertama turun tersebut sebagai grand designnya.

Internalisasi pesan dari kelima penggal surah di atas menjadi jawaban dari mana dan bagaimana membangun peradaban Islam berbasis Al Qur’an, jelas beliau.

Sebelum mengakhiri pemaparannya, DR. Abdul Mannan menekankan pentingnya peran muslimah dalam membangun peradaban. Hal ini karena Islam memberikan peluang bagi wanita untuk berkontribusi bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Kata beliau, kaum perempuan punya peran besar memberikan warna baru bagi bangsa dan dunia. Mereka adalah pencetak generasi pemimpin yang berkesinambungan.

Berikutnya, tampil dua pembicara dari negeri jiran, yakni DR. Norsaleh Mohd Saleh, Ketua Ikatan Muslimin Malaysia (ISMA) dari Malaysia dan DR. Bibi Jan Mohd. Ayyub, mantan Ketua Persatuan Guru Melayu Singapura.

Kedua pembicara ini menjadi narasumber dalam diskusi sesi pertama yang dimoderatori oleh Irawati Istadi, Sekjen MPP Muslimat Hidayatullah yang juga pakar parenting dan penulis belasan buku-buku parenting best seller.

Pemaparan DR. Norsaleha Mohd Salleh
Tampil sebagai pembicara pertama adalah DR. Norsaleha Mohd Salleh yang mengulas panjang lebar mengenai feminisme dalam perspektif Islam dalam materi berjudul “Melawan Tentangan Feminisme dan Liberalisme di Malaysia”.

Feminisme dan liberalisme, urai DR. Norsaleha, merupakan paham pemikiran yang berasal dari Barat, turunan dari paham Humanisme. Feminisme dan liberalisme adalah agenda yang datang dalam satu paket yang sistematis dan terorganisir, bukan agenda yang bergerak sendiri-sendiri.

Ia merupakan agenda musuh yang bertujuan merusak kepribadian dan jati diri muslimah. Ia datang dalam bentuk serangan pemikiran berkedok seruan kebebasan, kesetaraan gender dan kemanusiaan.

Gerakan feminisme, papar DR. Norsaleha, pada awalnya muncul sebagai antitesa terhadap pandangan stereotype masyarakat Barat yang memandang rendah kedudukan wanita.

Hingga abad 17, masyarakat Barat masih menganggap wanita sebagai jelmaan iblis, dan alat iblis untuk menggoda pria. Dalam kitab Bible, terdapat banyak ayat yang bersifat “sexist” dan memberikan pandangan rendah terhadap wanita.

Sedangkan liberalisme adalah paham yang merujuk kepada liberty atau konsep kebebasan. Feminisme dan liberalisme adalah dua serangkai yang saling berkaitan satu sama lain.

Secara kontekstual, gerakan feminisme berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu agama dengan menuduh peraturan agama itu menzalimi kaum wanita dan menindas kebebasan wanita.

Upaya yang harus dilakukan untuk melawan arus feminisme dan liberalisme menurut DR. Norsaleha, hendaknya diawali dengan pembentukan kepribadian wanita muslimah yang sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

DR. Norsaleha menyitir ungkapan Muhammad Quthb yang menggambarkan betapa pentingnya keberadaan wanita sholehah dalam menjamin kesejahteraan generasi dan keturunan;

“Seorang anak yang rusak bisa menjadi baik jika mendapat pengasuhan dari seorang ibu yang baik. Sebaiknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya hanya bisa melahirkan generasi yang rusak akhlaknya. Karena itulah, merusak wanita muslimah menjadi salah satu agenda utama musuh Islam.”

Dalam paparannya, Dr. Norsaleha juga banyak bercerita tentang upaya-upaya yang ia dan rekan-rekan seperjuangannya di organisasi ISMA lakukan untuk melawan tentangan feminisme dan liberalisme di Malaysia.

Pemaparan DR. Bibi Jan Mohd Ayyub.

Selanjutnya, tampil pembicara kedua, DR. Bibi Jan Mohd Ayyub. Bila dua pembicara sebelumnya banyak berbicara tentang peran dan fungsi muslimah dalam pembangunan peradaban secara makro, maka pemaparan DR. Bibi Jan lebih mengerucut kepada peran dan fungsi muslimah dalam pembangunan peradaban secara mikro dalam ruang lingkup yang lebih kecil, dalam hal ini adalah keluarga.

Wanita berdarah Melayu yang berlatar belakang seorang pendidik ini mengangkat tema “Menguatkan Pendidikan Dalam Keluarga”.

Pendidikan karakter seorang anak, urai DR. Bibi, harus dimulai dari rumah, bukan di sekolah. Tidak mungkin mengharapkan karakter dan budi pekerti yang baik dari seorang anak dengan hanya menyerahkannya pada sekolah.

Bagaimanapun, kata dia, rumah adalah sekolah utama anak. Ayah ibu merupakan guru pertama dan utama dalam mendidik anak. Sekolah, madrasah, pesantren, masjid dan institusi sosial lainnya hanya bertugas untuk terus memupuk apa yang telah disemai oleh orang tua.

Masalahnya, kata DR. Bibi, banyak orang tua berpikir simplistik ketika menyekolahkan anaknya. Mereka merasa sudah terbebas dari kewajiban mendidik anak-anak mereka dengan mengantar anaknya ke sekolah.

Meningkatnya dekadensi moral dan berbagai gejala sosial yang menyimpang, menurut Bibi Jan merupakan salah satu indikator utama keruntuhan institusi keluarga. Kegagalan orang tua dalam melaksanakan amanah, tugas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing merupakan faktor penyebab keruntuhan institusi keluarga.

Keluarga adalah tiang bangsa, sebut DR. Bibi Jan, Oleh karena itu, setiap muslimah baik sebagai ibu, istri maupun anak, harus membantu memaksimalkan dan mengoptimalkan fungsi keluarga dengan menguatkan pendidikan dalam keluarga.

Tujuan akhir dari usaha mengukuhkan keluarga ini adalah untuk membangun “syurga dunia” demi menggapai kebaikan dunia dan akhirat, seperti kata pepatah “kuat akar kerana tunjang, kuat tunjang kerana akar”.

DR. Bibi Jan mengusulkan untuk mewujudkan Kurikulum Inti (core curriculum) untuk pendidikan keluarga yang menggabungkan beberapa bidang yang semestinya dimiliki oleh para orang tua.

Ada beberapa hal mendasar dan asasi yang seharusnya dimiliki dan dikuasai oleh setiap orang tua, sebut Bibi Jan, antara lain: Pemahaman ilmu-ilmu keislaman asasi, kepemimpinan yang baik, ilmu tentang cara mendidik anak, manajemen rumah tangga, pemahaman akan psikologi setiap anggota keluarga, manajemen keuangan, ilmu kesehatan, dan masih banyak lagi yang lain.

Intinya, orang tua harus terus belajar, jangan pernah berhenti belajar. “Bukan anak-anak kita saja yang harus belajar, tetapi orang tua pin harus menjadi long life learner, pembelajar sepanjang hayat,” tegas Bibi Jan.

Sesi Kedua

Pada sesi kedua, yang dimoderatori oleh Ida S. Widayanti, penulis produktif sekaligus pembicara dalam berbagai seminar parenting, menampilkan 2 pembicara dari dalam negeri.

Yang pertama adalah Santi W. Soekanto, seorang jurnalis kawakan dan aktivis kemanusiaan dan relawan yang telah banyak terlibat dalam aksi-aksi kemanusiaan di negara-negara Islam yang sedang dilanda konflik.

Mbak Santi, demikian wanita perkasa yang juga relawan Sahabat Al Aqsha ini biasa disapa, banyak bercerita tentang tokoh-tokoh wanita inspirasional yang pernah ditemuinya di berbagai negara yang sedang dilanda konflik berkepanjangan.

Diantaranya beliau pernah bertemu Ummu Muhammad dan Ummu Bilal di Gaza, Ummu Muhammad di Damaskus, dll. Mereka semua menginspirasi dengan militansinya terhadap Islam, dan semangat serta komitmen mereka untuk membangun keluarga Qur’ani, keluarga syurgawi.

Insyaa Allah, kata Mbak Santi, kemenangan Islam akan datang lewat tangan-tangan ummahat yang saat ini berazzam dan berjuang untuk menjadikan syaitan sebagai musuh utama diri mereka dan keluarga mereka.

Yakni, mukminat yang mendorong belajar dan mendidikkan Al Qur’an kepada anak dan keluarga mereka, yang membangun peradaban mulia sebagaimana dibangun oleh Rasulullah SAW dan para salafus sholeh dengan cara membangun tradisi berQur’an dan berSunnah dalam keluarga dan masyarakat, demikian pungkas istri dari Dzikrullah W. Pramudya ini.

Senada dengan DR. Bibi Jan Mohd. Ayyub, pembicara terakhir, Dra. Shabriati Aziz, M.Pd.I yang juga ketua Majlis Pertimbangan Pusat (MPP) Muslimat Hidayatullah menekankan pentingnya peran muslimah dalam pembangunan peradaban dan pengokohan keluarga.

Sebagaimana yang telah diperagakan oleh para ummahatul mukminin dan shahabiyah, peran mereka tak terpisahkan dari perjuangan kaum Muslimin secara umum dalam membangun peradaban Islam.

Oleh karena itu, kata ibu Shabriati, menjadi tugas penting muslimah untuk mengembalikan spirit peradaban tersebut dengan mengokohkan keluarga, terutama peran sebagai orang tua, di mana ibu berperan sebagai madrasatul ula.

Di tengah arus globalisasi seperti saat ini, jelas Shabriati, ada dua hal besar yang harus dikerjakan dalam keluarga secara sinergis. Pertama, memberikan pendidikan dienul Islam secara baik dan benar. Kedua, membentengi mereka dari pengaruh dan kondisi buruk(pornogragi, narkoba, seks bebas dll) yang berkembang semakin massif saat ini.

“Karena sosok ibu sangat penting dalam keluarga, maka muslimah di zaman sekarang harus memiliki aqidah yang kuat, ilmu yang tinggi serta akhlaqul karimah dan kreativitas yang baik,” kata beliau.

“Tanpa kualitas muslimah yang demikian maka harapan dan impian untuk lahirnya generasi yang tangguh tidak mungkin tercapai,” tandas kandidat doktor pendidikan Islam ini menutup pemaparannya.

Untuk masing-masing sesi disediakan sesi diskusi dan tanya jawab. Peserta yang seluruhnya terdiri dari muslimah ini terlihat antusias bertanya ataupun memberikan pendapat mengenai materi-materi yang telah dipaparkan oleh keempat narasumber.

Penutup
Konklusi yang bisa diambil dari rangkaian materi dan diskusi dari seminar ini adalah, bahwa seorang muslimah, sebagai apapun ia: istri, ibu, dan sebagai individu, sejatinya memiliki peran dan posisi yang sangat penting dalam pembangunan peradaban.

The great woman behind the great man, adagium ini menunjukkan besarnya peran wanita dalam melahirkan dan memunculkan orang-orang hebat, generasi pemimpin.

Wanita adalah tiang negara, ungkapan ini bukanlah sekadar pepesan kosong. Baik buruk, sukses hancurnya sebuah generasi dan sebuah peradaban sedikit banyaknya ditentukan oleh kualitas para wanitanya. Sebab, wanita-wanita inilah yang akan melahirkan generasi-generasi yang kelak memimpin bangsa dan negaranya.

Mengutip kalimat Muhammad Quthb, sang cendekiawan bijak bestari dari Mesir, “Seorang ibu yang rusak akhlaknya hanya mampu melahirkan generasi yang rusak akhlaknya pula.”

_______
ZAHRATUN NAHDHAH,
penulis adalah pengurus Annisa Hidayatullah dan tulisan ini dikutip dari akun pribadi beliau di fb.com/zahratun.nahdhah  atas izin yang bersangkutan. Catatan beliau ini adalah oleh-oleh dari Seminar Internasional Muslimat Hidayatullah “Muslimah dan Pembangunan Peradaban Islam” Senin, 08/06/2015 di Hotel Grand Menteng, Jakarta.