Superioritas Muslimat Hidayatullah

24 Agustus 2015

Oleh : admin

mushida

FAKTANYA bahwa, wanita memiliki “superioritas” yang barangkali tidak dipunyai kaum Adam.

Superioritas itu adalah tingginya respon sosial dan emosionalitas mereka terhadap komunitasnya dan juga lingkungan sekitarnya.

Saya melihat genologi kultur tersebut sangat terinternalisasi di kalangan Muslimat Hidayatullah, khususnya di Depok, Jawa Barat, dimana saya berdomisili.

Inilah tradisi spontanitas yang menurut saya luar biasa yang barangkali juga telah menjadi kultur Muslimat Hidayatullah di mana pun berada. Mengenai hal ini saya akan ceritakan lebih lanjut. Next.

Belum lama ini, atau tepatnya pertengahan Februari lalu hingga Maret 2015, saya diserang sakit typus. Sebelum sakit ini benar-benar terdiagnosis sebagai virus types oleh dokter, kurang lebih 2 pekan saya sempat meriang, nyeri persendian, muntah, panas dingin, pilek berat, dan batuk.

Saya sama sekali tidak menyangka jika ternyata ini gejala typus. Sebab, kadang-kadang saya merasa segar di sore hari dan akhirnya tetap turun bermain futsal. Walaupun masih terasa sakit kepala dan pilek, saya anggap ini sakit flu biasa yang akan sembuh dengan sendirinya setelah olahraga.

Justru, saya berfikir mungkin ini chikungunya. Chikungunya biasanya gejalanya nyeri tubuh persendian dan ini yang saya rasakan sangat dominan. Tubuh terasa berat diajak berkompromi. Kalau berwudhu dinginnya bukan main.

Akhirnya, setelah cukup lama terbaring dan tidak bisa beraktifitas banyak di luar rumah, istri mendesak saya untuk periksa ke dokter. Sejak awal istri saya memang sudah mendesak dilakukan medical checkup karena khawatir ada apa-apa, atau malaria begitu.

Tapi ah saya pikir ini sakit biasa saja, paling-paling kalau dibawa mandi jam 3 dini hari akan kembali segar lagi keesokan harinya.

Namun, anehnya, beberapa kali saya mandi di jam-jam sebelum shubuh tersebut, keesokan harinya malah sakit kepala dan panas kepala.

Padahal biasanya kalau diserang flu berat, obat andalan saya cukup mandi dan siram kepala sebanyaknya sebelum shubuh. Tetapi kali ini ternyata tidak mempan.

Akhirnya saya periksa diantar pakai motor oleh sahabat baik saya, Irdo, ke Klinik Naura Medika di Depok Timur.

Waduh, rupanya sangat tidak nyaman naik motor dikala sakit seperti ini. Perut rasanya sakit sekali. Tulang punggung juga begitu.

Di klinik saya banyak berkonsultasi dan memuntahkan semua keluhan yang kurasakan di depan dokter.

Di situ juga dokter, sayangnya saya lupa namanya, seorang laki-laki, menyuruh dilakukan cek darah. Dan, kesimpulannya, saya sakit typus!

*******************

Anda tahu, pihak yang sejak awal memberikan perhatian serius terhadap saya dan keluarga karena ketidakstabilan fisik ini, adalah ibu-ibu Muslimat Hidayatullah.

Bahkan, Ketum PP Mushida, Ibu Reni Susilowati sempat beberapa kali bertandang ke rumah dengan membawa berbagai jenis makanan dan buah termasuk obat-obatan alami untuk memupus typus ini.

Sekitar 3 hari berturut-turut ibu-ibu dari Mushida datang silih berganti yang diterima oleh istri saya. Saya hanya bisa meringkuk di kamar.

Tidak ketinggalan Sekjen PP Mushida, Ibu Amaliah Husna Bahar, yang bahkan datang menjemput saya menggunakan mobil untuk checkup ulang ke rumah sakit dan adapun soal biaya, “Tidak usah dipikirkan,” kata beliau.

Juga atas arahan dan dukungan Ketua Annisa Hidayatullah, Ibu Neny Setiawati, yang
begitu intens akhirnya kami juga dapat melakukan pemeriksaan darah untuk memastikan sakit apa yang sedang mendera ini. Terimakasih, ibu-ibu sekalian.

Saya merasa sangat terharu dengan perhatian-perhatian yang luar biasa tersebut. Saya akhirnya dalam hati malu sendiri yang selama ini tak jarang memandang negatif setiap kegiatan halaqah Muslimat Hidayatullah.

Mereka memang pasti “mattoge” atau apalah namanya kalau sudah ngumpul, tetapi di balik itu mereka adalah para muslimah yang penuh kepedulian dan penuh simpati.

Dukungan mereka spontanitas karena memang tradisi ini sudah lumrah di kalangan Muslimat Hidayatullah Depok.

Memang, di waktu bersamaan istri saya sedang hamil tua. Tapi, saya yakin, bukan kondisi itu yang menjadi asbab Muslimat Hidayatullah segera memberikan simpati dukungan buat kami yang -sekali lagi- sangat luar biasa.

Sebab, sejauh yang saya ketahui, tradisi solidaritas ini telah menjadi kultur di dalam tubuh Muslimat Hidayatullah. Itu yang saya ketahui dan saya yakin budaya ini masih langgeng hingga kini di mana pun Mushida berada. Insya Allah. 

Di awal tuturan ini, saya memberi tanda petik pada kata “superioritas”, yang bermakna bahwa betapa ibu-ibu yang telah melahirkan kita adalah wanita yang teramat luar biasa jasanya yang kadangkala tak selalu mendapat apresiasi.

Mereka memang superior yang seiring dengan kodrat kewanitaannya. Tapi, yang pasti, mereka tidak berarti memaksa diri menjadi dominan lalu mengesampingkan keluhuran ajaran Islam dalam strata sosial. Inilah sesungguhnya keunggulan wanita yang terkadang sepi -kalau tidak mau disebut lupa- dari penghargaan kita, para suami.

Superioritas muslimah ini terbingkai indah dalam beludru lembut yang seturut merawat ketajaman intelejensi dan sensitifitas kegamaan mereka.

Mereka tak butuh panggung mengeskpresikan diri untuk mempresentasi kecakapan akademis, kiprah-kiprah nyata mereka di berbagai sektor khususnya pendidikan sudah cukup menjadi bukti otentik kesejarahan yang mereka ukir.

Tidak berlebihan rasanya kalau saya mengatakan mereka inilah para wanita tangguh yang bahkan berusaha terus menyetarai kiprah-kiprah ummahat di masa dahulu kala. Mereka tampaknya memang tak terlalu peduli dengan materi, kendati kerapkali harus pulang di senja hari.

Saya tahu, gaji mereka di sekolah tak seberapa, bahkan hanya secerca. Tapi demi generasi pelanjut risalah suci, mereka rela berjibaku dengan berbagai beban tugas-tugas bahkan kadang hingga dini hari. Apalagi kalau bukan buat RPP. 🙂        

Saya betul-betul sangat kekurangan kosa kata untuk mengutarakan kalimat penghargaan dan terimakasih setingginya untuk semua pihak yang telah membantu kami terutama Muslimat Hidayatullah selama masa-masa kritis tersebut.

Akhir kata, hanya Allah Subhanahu Wata’ala yang layak memberikan balasan terbaik atas kebaikan Ibu sekalian. Kami memastikan tidak bisa membalas kebaikan-kebaikan tersebut dengan setimpal. Sungguh.

___________
ABDULLAH, penulis adalah suami dari seorang anggota Muslimat Hidayatullah Depok.