Membaca Syarat Mutlak Syahadat

16 November 2016

Oleh : admin

mushida

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

GEMETAR tubuh beliau menuruni bukit Tsur. Dekapan kuat malaikat Jibril yang menyerupai manusia masih beliau rasakan.

Ayat-ayat suci kalam Allah yang baru diterimanya melalui malaikat Jibril memerintahkannya untuk membaca. Beliau tak bisa membaca, maka hanya kalimat “Aku tidak bisa membaca” beliau berikan sebagai jawabannya.

Wahyu pertama yang berisi perintah membaca adalah karunia tiada tara bagi manusia. Membaca yang berarti menghimpun, bukanlah sekedar menghimpun huruf menjadi kata, menghimpun kata menjadi kalimat, lalu menjadikan kalimat-kalimat yang berderet sebagai obyek yang dinikmati oleh mata. Membaca memiliki makna yang lebih luas dari itu semua.

Dahulu, ketika aktifitas tulis baca belum seperti saat ini, hingga ulama hadits menilai hafalan lebih dapat dipertanggungjawabkan keshohihannya daripada hadits yang ditulis, manusia terbatas membaca alam, bukan aksara seperti sekarang. Terlebih, masa yang lebih lampau.

Apa yang dibaca salah satu putra Adam-‘alaihis salaam-, sehabis membunuh saudara kandungnya, misalnya (Al-Maidah ayat 31)

فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (31)

“Lalu Allah mengirim seekor burung gagak, menyuruhnya menggali tanah, untuk menunjukkan kepadanya bagaimana cara mengubur saudaranya. Dia berkata, aduhai celakanya aku, mengapa aku tidak dapat berbuat seperti burung gagak ini?, kemudian dia menyesali perbuatannya.”

(Mungkin) karena membaca tidak sebatas menghimpun aksara, maka obyek yang harus dibaca dalam perintah yang terdapat pada wahyu pertama tidak ditentukan. Manusia diperintahkan menghimpun semua informasi dari apa yang dia lihat, dia dengar dan dia renungkan.

Kholilullah, Ibrahim-‘alaihis salaam- ‘menemukan’ Tuhannya dari membaca, sebagaimana yang dikisahkan dalam Surat Al-An’am ayat 75-79. Berkat membaca, beliau dapat mengatakan, “Aku berlepas diri dari apa yang kalian sekutukan, aku menghadapkan wajahku hanya Pada Dzat yang menciptakan langit-langit dan bumi”.

Membaca dengan semua maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu. Syarat pertama mendapatkan pengetahuan dan menemukan landasan untuk bertindak. Wahyu pertama ini merupakan perintah paling berharga bagi manusia mencapai derajat kemanusiaannya.

Ketika manusia membaca tanpa melibatkan akalnya atau membaca tanpa berpikir, dia bagaikan menikmati narkoba. Dia berusaha lari dari kenyataan, merasakan kenikmatan sesaat dan lupa berpikir tentang apa yang dikonsumsinya. Demikian seperti diungkap Dr. Quraish Shihab dalam bukunya, Dia di mana-mana.

Karena harus melibatkan akal pikiran, membaca akan membawa pembaca pada suatu hasil, yang dapat mempengaruhi pola pikir dan pengambilan keputusan untuk dirinya sendiri dan orang lain. Maka Allah membatasi objek yang akan dibaca dengan ‘bismi Robbika’.

Agar manusia dapat memilih dan memilah bacaannya, mana yang harus dia telan, dia kunyah atau bahkan yang harus dia muntahkan.

Syahadat, pernyataan akan keesaan Allah yang lahir dari hasil ‘membaca’ akan membawa dampak berbeda dengan syahadat yang lahir dari sebuah keterpaksaan ataupun yang telah bercokol karena garis keturunan.

Itulah hikmah dibalik wahyu pertama yang memerintahkan manusia untuk membaca. Agar lahir dari ‘membaca’ syahadat jiwa-jiwa yang penuh kesadaran akan kelemahan dan kehinaan dirinya di hadapan Dzat yang mengadakan segala hal dari ketiadaan.

Sungguh Maha Bijaksana, Dzat yang akan menghisab manusia dari hasil bacaannya.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu bertindak dari apa yang tidak kau ketahui ilmunya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya.” Q.S. Al-Isro’, 36.

Wallahu A’lam

______________
SARAH ZAKIYAH, penulis adalah Pengurus Pusat Muslimat Hidayatullah (PP Mushida) dan aktif sebagai pendidik dan ibu rumah tangga.