ANAK harus dekat dengan ayah, juga ibunya. Jika memungkinkan porsi kedekatan dengan ayah dan ibunya harus sama. Kedekatan yang menciptakan anak-anak kita agar jauh lebih dekat dengan Rabb-Nya.
Ketika suami sedang emosi tinggi kepada anaknya, seorang ibu seharusnya menjadi tempat berlabuh anaknya ketika si anak sedang labil juga emosinya.
Dan ketika sang ibu sedang emosi kepada anaknya, maka sang ayahlah yang berperan menjadi tempat curhat bagi anaknya. Bukan orangluar, bukan tetangga, bukan temannya, apalagi curhat di sosial media.
Ketika sang ibu sedang emosi kepada anaknya, seharusnya ada ayah yang mendengarkan keduanya. Ketika sang ayah yang khilaf emosi, kemana ibu yang seharusnya mendampingi.
Namun jangan hanya ibu yang setia berperan mendampingi. Kemana sang ayah pergi? Akhirnya anak hanya dekat pada ibunya, tak mau dekat dengan ayahnya. Akhirnya hanya ibu yang menjadi sosok idolanya, ayahnya hanya menjadi sosok “ada dan tiada, maka sama saja”.
Dan pula jangan hanya ayah yang dianggap idola bagi anaknya. Akhirnya anak menjadi tidak betah di rumah tersebab ibunya.
Ketika ayah tegas…
Peran ibu seharusnya lembut….
Ketika ibu yang tegas…
Ayah harus lembut…
Agar anak bisa belajar bahwa tak semua masalah manusia bisa di selesaikan dengan cara lembut kadang harus tegas, begitupun sebaliknya.
Agar orangtua adalah hakim yang paling bijak untuk semua persoalan anak …
Tak menghakimi…
Tak mudah tersulut emosi…
Tak memaksakan kehendak…
Namun semua bisa terselesaikan dengan cara bijak…
Bukan hanya ibu yang bijak. Ayah juga bijak. Sehingga anak-anaknya di kemudian hari juga menjadi pribadi yang bijak. Bukan sosok yang memaksakan kehendak.
Jadi orangtua, jangan pernah mencari alasan ketika di nasehati anak. Jika salah, maka bilang saja salah. Jika benar, bilanglah benar.
Jangan sampai di kemudian hari anak-anak kita mencari cari alasan ketika salah, akhirnya berusaha mencari pembenaran, karena tanpa sadar, sesungguhnya orangtuanya sendiri yang mengajarkannya.
Katakan padanya. Salah dan benar adalah manusiawi. Ketika benar jangan tinggi hati merasa akan benar terus. Ketika salahnya ketahuan, mintalah maaf secara gentle, tak perlu malu, bertobatlah.
Bilang juga padanya. Menang dan kalah adalah hal yang biasa. Justru lebih penting mengalah ketika sebenarnya kita mampu untuk menang jika itu demi sebuah kebaikan. Jangan menjatuhkan kehidupan oranglain jika hanya untuk memperturunkan Ego dan emosi.
Satu lagi…
Jika kita mampu mengerjakan sesuatu, kita pun harus faham bahwa oranglain pun bisa jadi lebih mampu, agar kelak kita tak menjadi sosok bahwa “hanya kitalah yang paling bisa dan mampu, paling baik, paling tau, paling faham, paling pintar, paling cerdas”.
Padahal, semua hal tersebut orang pun berproses agar bisa melakukannya untuk menjadi mampu dan bisa. Semoga kita tak menjadi pribadi yang merugikan oranglain di masa-masa mendatang.
DEDE AGUSTINA