Menguatkan Proses Tahapan Penerapan Syariat pada Anak

12 Januari 2020

Oleh : admin

mushida
SAAT ini begitu banyak orangtua yang sudah melek syariat. Mereka banyak mendapat kajian itu baik melalui majelis taklim, halakah-halakah, tablig akbar, seminar, bahkan melalui media online semisal youtube yang menyiarkan kajian para dai kondang yang bertebaran di media sosial.
Hal ini membuat para orang tua makin sadar betapa pentingnya penerapan syariat ini pada putraputri mereka. Apalagi yang telah melihat atau bahkan mengalami langsung dampak dari pelanggaran-pelanggaran syariat itu sendiri. 
Tapi sayang, keinginan kuat tersebut kadang patah di tengah jalan melihat reaksi putra-putri mereka yang tidak siap menerima penerapan syariat yang datang secara mendadak.
Seperti yang dialami Ummu Anis hari itu, ketika semua anggota keluarga sudah siap berangkat keundangan keluarga, si kecil Tania yang berumur lima tahun ini, sudah berkali-kali dirapikan jilbabnya, tapi toh setiap kali Ummu Anis menoleh jilbab itu sudah terseret lagi di tangan Tania. 
Olaaalaaaa….emosi? Tentu saja, apalagi abinya sudah berkali-kali membunyikan klakson mobilnya di depan rumah. Atau si Rahmah yang tomboynya minta ampun, sudah kelas 5 SD masih saja keluar tanpa jilbab di kepala, Ummu Hani tak lelah menasihatinya agar tidak melupakan jilbabnya ketika keluar rumah atau tidak bermain dengan anak lelaki, tapi jawaban Rahmah sama saja “Rahmah kan masih kecil ummi…..”. 
Lain lagi dengan si Wana, anak ummu Sholehah itu berjilbab rapi ketika keluar dari rumah, tapi sebelum memasuki gerbang sekolah maka jilbab itu akan berpindah ke dalam tas. 
Pacaran apa lagi, Ummi Hasanah sudah kehabisan kata-kata untuk mengingatkan putri semata wayangnya itu untuk tidak berpacaran, alhasil…sudah tiga kali Rahmah kepergok berduaan dengan teman lelakinya.
“Aku malu um….anak-anak kok susah amat diatur ya? beda dengan keluarga Ustadzah Tyas, Adem melihat keluarga mereka, putra-putrinya kompak dan mudah diatur”. Begitu biasa curhatan para ibu yang lagi kena eforia penerapan kajian syariat ini, atau mungkin juga ungkapan kekesalan karena mendapat tekanan dari suami. 
Tidak sedikit keluarga yang terkendala seperti itu, tapi kondisi ini sudah lebih baik dari pada mereka menutup diri sama sekali terhadap penerapan syariat. Fenomena ini merupakan girah pelaksanaan syariat Islam yang begitu menggebu namun tidak dibarengi dengan ilmu penerapan syariat itu sendiri. 
Anak-anak bukan robot yang bisa dikendalikan dengan remot control atau barang yang bisa mereka tata dan letakkan semaunya. Mereka berlomba menampilkan bahwa keluarga mereka paham syariat. Mereka malu bila bertemu teman-teman satu kajian di saat keluarga mereka belum bisa menerapkan apa yang telah dipelajari
dari syariat itu. 
Akhirnya alih-alih membuat keluarga paham dan mau melaksanakannya, mereka malah terjebak dalam sum’ah dan stress yang tak berkesudahan. Menampilkan fatamorgana,
dilihat ada ditangkap hilang. Syariat hanya sebagai pajangan tapi kehilangan makna yang sebenarnya.
Allah sebagai pencipta manusia menurunkan Alqur’an sebagai landasan syariat secara bertahap, salah satu hikmahnya agar memudahkan manusia menerima, melaksanakan dan
mempersiapkan diri untuk menerima tahap selanjutnya. Selain itu agar masalah-masalah yang muncul dalam proses penerapan tahapan sebelumnya dapat disempurnakan pada tahap selanjutnya.
Semua ada prosesnya dan tak bisa instan. Sesuatu itu bisa bertahan jika dimulai dari proses yang benar, metode yang benar dan penerapan yang benar. Tidak semua orang tua dianugerahi kemampuan untuk itu, kecuali orang-orang yang mau berikhtiar dengan sekuat tenaga dibarengi dengan ilmu dan memohon petunjuk Allah. Mari kita lihat bagaimana Allah menggambarkan dalam surah Al-Baqarah: 269
يؤتي الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا وما يذكر اال أولو البا ب
“Allah menganugerahkan Alhikmah (Kefahaman yang dalam tentang Alqur’an dan Assunnah) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.”
Baiklah kita garis bawahi kata hikmah dalam ayat tersebut, karena dia menjadi asbab seseorang mendapat karunia yang banyak, baik perbuatan dan perkataan yang bisa menjadi wasilah pencerahan bagi siapa saja yang mendengarkannya tak terkecuali anggota keluarga termasuk didalamnya anak-anak dalam asuhan kita tentunya. 
Maka kita perlu mengkaji kata hikmah itu. Menurut Imam Abu Ismail Al-Harowi Hikmah itu فيموضعه الشيء وضع ” Meletakkan sesuatu pada tempatnya”. Sementara Ibnul Qayyim الحكمة فعل ما ينبغى على الوجه الذى ينبغى فى الوقت الذى ينبغى: mengatakan, “Hikmah adalah program kegiatan yang terencana dengan cara yang benar pada waktu yang Tepat”.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa hikmah adalah suatu penerapan yang terperinci yang telah disiapkan, dilaksanakan sesuai jenjangnya dan pada waktu yang pas. Maka penerapan syariat kepada anak-anak tidak bisa dilakukan secara instan, tetapi melalui proses yang hikmah yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berakal. 
Dalam artian dalam membina rumah tanggapun kita perlu visi dan misi. Sekarang mari kita lihat dari mana Rosulullah mulai memberlakukan metode bilhikmah ini. 
Dalam Parenting Nabawi Ali Bin Abi Thalib Karromallahu Wajhahu membagi tahapan menjadi 4 bagian: Fase pertama usia 0-7 tahun adalah masa penanamanTauhid kepada anak,  mereka diantar dengan dunianya mengenal Rabb sang pencipta, hingga tumbuh rasa ingin tahu, keyakinan dan kecintaan kepada Rabb sesuai dengan nalar kekanak-kanakannya. 
Memberikan pengenalan dengan cinta bukan dogma, pemahaman bukan paksaan.Pelan-pelan dikenalkan dengan jilbab, kaos kaki, cadar, sholat, puasa, infak, zakat, dll. 
Pada fase kedua 7-10 Tahun, anak mulai dibiasakan, walau beban syariat belum ada, mereka sudah dibiasakan untuk ikut sholat, bangun sebelum subuh, menutup aurat, mengenal batas pergaulan sambil terus diperdengarkan “Ade bila telah baligh, akan mengenakan jilbab dengan sempurna, atau bercadar dan berkaos kaki dengan sempurna, tak boleh meninggalkan sholat lagi, puasa yang penuh dll. Terus disampaikan dalam setiap kesempatan bersama dan berdialog hingga tertanam dialam bawah sadarnya hal itu merupakan amalan pertama yang harus mereka lakukan ketika telah baligh.
Fase ketiga umur 10-pra baligh, adalah masa pembebanan syariat, di mana mereka dengan ringan dapat melaksakannya, karena telah mendapat banyak informasi, punya kesiapan mental yang cukup serta pemahaman syariat yang baik. Hingga mereka merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan syariat itu, khususnya bagi diri mereka sendiri. 
Dengan mudahnya mereka akan menyampaikan “ mi, sekarang saatnya ade pake ini ya?” Tak perlu menagih lagi. Pada fase keempat yaitu masa baligh mereka sudah bisa menjadi agent perubahan pada lingkungan di mana dia berinteraksi, bukan saja pada diri pribadi tetapi telah ikut memikul amanah perubahan dengan mengajak orang-orang di sekelilingnya untuk sama-sama melaksanakan syariat dengan baik.
Jika keempat fase ini betul-betul kita lalui dengan baik, tersistem dan terarah apalagi ditambah dengan keteladanan dari orang tua maka tak akan ada lagi yang mengeluhkan anaknya susah untuk diajak bersyariat. Jika tidak, maka bisa di pastikan ada error di antara tahap tersebut atau anak tidak tersibgah dengan baik dalam rendaman ramuan syariat yang seharusnya diciptakan oleh kedua orang tuanya.
Bagaimana dengan keluarga yang baru akan melaksanakan syariat ketika anak-anak sudah beranjak remaja? Ikutkan mereka dengan kegiatan yang kita lakukan dalam kesempatan taklim apa saja, agar mereka dapat menyerap langsung informasi yang ada, terus berdialog dengan menggali pemahaman mereka, bukan dengan cara perintah dan ancaman.
Arahkan pemahaman itu hingga terlontar keinginan bersyariat dari dalam diri anak kita, agar dia lebih bertanggung jawab dengan keputusannya.Tahapan tetap harus ada dalam kondisi bagaimanapun. 
Orangtua seharusnya menempatkan diri sebagai Murobbi, sebagaimana perintah Allah dalam Surah Ali Imran ayat 79. Dimana Imam Bukhori dalam shohihnya mengatakan “Rabbani/Murobbi adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu yang ringan sebelum yang berat“. Wallahu a’lam.
MIFTAHUSSA’ADAH