Tentang Halaqoh dan Setangkup Rindu

23 Juli 2021

Oleh : Zahratun Nahdah

mushida
Tentang Halaqoh dan Setangkup Rindu

Oleh: Zahratun Nahdhah
Entah sudah berapa lama kita tak bertemu

Benakku sibuk menghitung hari yang telah berlalu

Sedang gedoran rindu semakin kuat bertalu

Adakah kata selain rindu, 

untuk menggambarkan betapa hasrat ingin bertemu memenuhi ruang kalbu?
Pandemi yang semakin bergejolak memaksa kita berada di rumah untuk sementara waktu

Hingga waktu yang tak tentu
Lingkaran cinta itu…

Genggam tangan penuh kehangatan itu…

Senyuman tulus yang terukir selalu…

Lantunan tilawah nan merdu

Untaian taushiah dan nasihat penyejuk kalbu

Uraian materi dan diskusi sarat ilmu

Obrolan-obrolan ringan tapi bermutu

Canda tawa penghangat suasana pengusir jemu

Sungguh, aku rindu…
Pandemi, segeralah berlalu

Rindu bermajlis bersama sahabat-sahabat seperjuanganku

di mana tatap mata saling beradu, 

lutut saling bertemu, 

dan genggam tangan menyatu…

***

Sore itu, aku bersiap-siap untuk berangkat halaqoh. Niat hati mau membawa si kecil, qadarullah dia malah tidur. 

Belakangan ini pola tidur gadis kecilku ini memang berubah. Sepanjang pagi dan siang ia tak tidur. Biasanya menjelang ashar, barulah ia tertidur, dan baru terbangun nanti menjelang maghrib.

Karena tak ingin membangunkannya, aku menitip pesan pada suami yang sedang duduk-duduk santai di teras sembari menyesap secangkir kopi Radix. “Bang, aku mau pergi halaqoh dulu ya… Cila lagi tidur.”

“Oke, siap,” sahut Si Abang.

Aku lalu berangkat menuju tempat halaqoh di rumah sahabat seperjuanganku yang hanya sepelemparan kaki dari rumah. Ini halaqoh yang ketiga kalinya, setelah hampir enam bulan halaqoh tatap muka ditiadakan dikarenakan situasi pandemi.

Sejenak pikiranku melayang ke masa lalu. Di masa kecil dahulu, jadwal halaqoh Ibunda setiap hari Selasa siang adalah momen yang selalu kutunggu-tunggu. Setiap tiba hari Selasa, aku merasakan kegairahan yang luar biasa. Hari yang telah dinanti-nanti akhirnya tiba. Segalanya terasa indah di hari Selasa. Setiap jengkal tanah yang kupijak menguarkan aura bahagia. Dan di hati ini, bermekaran bunga-bunga. 

Sedari pagi, benakku telah sibuk menghitung waktu menuju siang hari, tepatnya jam tiga. Biasanya, penunjuk waktu di jam dinding menunjuk angka tiga, bersamaan dengan pengumuman yang menggema dari toa masjid, “Sholaaah… Sholaaah… Waktu sholat ashar tinggal 30 menit…”.

Inilah saatnya! Sebagai seorang kakak yang penyayang, aku akan bergegas memanggil adik-adikku. Lalu kami melangkah dengan elegan, gegas dan tangkas, tanpa tapi tanpa nanti. Tujuan kami tak lain adalah rumah shahibul bayt yang hari itu mendapat giliran menjadi tuan rumah halaqoh.

Sesampai di rumah yang kami tuju, dengan malu-malu tapi mau aku beruluk salam.

“Assalamu’alaikum, Bunda. Ini nah si A (menyebut nama adik yang paling kecil) minta diantarin ke Bunda.” Alasan klasik dan klise, tetapi jurus jitu untuk menghalau kikuk dan keki, sekaligus sebagai alibi.

Bundaku, tentu saja tahu jika itu hanyalah alasan yang dipaksakan, alibi yang dicari-cari. Karena sungguh mencolok sekali. Kok bisa waktunya selalu tepat sekali, setiap kali. 

Seperti sudah jadi tradisi, aku akan mengantarkan adik-adikku ke tempat halaqoh di saat tuan rumah sudah mulai menyuguhkan piring-piring berisi penganan dan masakan untuk disantap para tetamu. Sungguh sebuah kebetulan yang sangat mengharu biru. Tetapi luar biasanya, Bunda tak pernah mengungkit itu. 

Cerita selanjutnya sudah bisa diterka. Yang berhalaqoh Ibunda, tetapi yang semangat 45 menyantap segala hidangan yang disuguhkan adalah anak-anaknya. Karena memang hidangan-hidangan itulah daya tarik terbesar halaqoh di mata kami, para bocah belia. Yang menjadi pemantik motivasi untuk selalu datang ke tempat halaqoh tepat jam tiga.

Begitupun ibu-ibu lainnya. Nyaris semua ibu yang hadir di halaqoh ini mengalami nasib yang sama dengan Bunda. “Bala tentara” mereka juga selalu berbondong-bondong datang menjelang jam tiga. Kalau setiap ibu rata-rata dibuntuti dua, tiga, empat, bahkan lima balatentaranya, bayangkanlah betapa meriahnya. Ramai tak terkira. Tuan rumah jika tak menyiapkan hidangan untuk sekompi, siap-siap saja kalang kabut dibuatnya. Sebanyak apapun yang dihidangkan, pasti licin tandas tak bersisa.

Malu rasanya saat mengingatnya sekarang. Tapi bagi kami di masa kecil, momen itu sungguh 
menyenangkan bukan kepalang. Salah salah satu momen terindah untuk dikenang. Terpahat indah di ingatan, tak akan pernah lekang. 
Bersambung