Kepak Sayap Bidadari

25 Agustus 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Kepak Sayap Bidadari

Sepasang bola mata bening itu basah oleh aliran air mata. Kedua belah tangannya menengadah memohon segala asa yang ia luahkan kepada sang Rabb terkasihnya. Sajadah tempat ia bersimpuh telah berubah rasa menjadi hangat sebab terlalu lama ia bersimpuh mengadu. Hawa dingin di sepertiga malam itu terasa hangat baginya karena yang ia rasakan adalah pelukan dan usapan hangat dari Rabb terkasihnya. Sebentar ia bangkit menghampiri bayi mungilnya yang terkadang merengek sebab nyamuk telah mengusik pipinya yang putih kemerahan namun setelah bayinya tenang ia pun kembali duduk bersimpuh di atas sajadah lembut bernuansa biru mahar dari suaminya.

Malam semakin merangkak menuju subuh. Ia pun berkemas merapikan alat sholatnya dan menuju setumpuk peralatan masak yang teronggok di ujung ruangan sempit itu. Sebuah tungku tanah liat yang telah menghitam terbakar oleh panasnya api. Di sebelahnya terdapat bilah-bilah ranting kayu dan onggokan daun-daun kelapa kering sebagai cadangan bahan bakarnya. Tak terlihat rak piring dan wastafel tempat mencuci peralatan masaknya. Sesekali terdengar suara gesekan dedaunan dari pohon kelapa yang daunnya mengenai atap rumahnya yang terbuat dari seng-seng bekas. Daun pintu gedhek pun berderit ketika ia buka untuk mengambil air dari gerabah bekas pemberian tetangganya yang berada di luar dapurnya. Ia hendak memasak air pagi itu.

Lamat-lamat terdengar lantunan suara adzan dari mushola yang tak jauh dari rumahnya. Ia perhatikan dengan seksama dan ia pun tersenyum. Suara yang sama sekali tidak asing baginya. Suara lembut dan merdu yang telah menemani kedua pendengarannya satu tahun terakhir ini. Suara terindah itu melantunkan adzan syahdu yang membangunkan seluruh isi alam jauh terbang terbawa angin sampai ke pelosok kampung itu. Ya suara adzan itu milik suaminya yang telah lebih dahulu bangun dan bersimpuh di mushola kecil itu. Sepasang pengantin baru dengan seorang bayi mungilnya.

“Assalamu’alaikum…” terdengar suara salam di sela-sela suara derit daun pintu.

“Wa’alaikumsalam wa rahmatullah,” dijawabnya suara salam itu sembari menyambut suaminya dengan segelas plastik air putih hangat di tangannya. “Berapa orang yang ikut sholat subuh, Bi?” Tanyanya sembari duduk mengambil bayinya yang mulai haus.

“ Alhamdulillah, Dek. Ada dua orang pagi ini yang ikut sholat subuh. Semoga besok bertambah lagi yang ikutan sholat,” jawab suaminya seraya menyeruput air putih hangatnya. “Enak ya Dek, klo minumnya ditemani singkong rebus, he he he”. Canda suaminya sambil bersandar di dinding yang gedheknya ditambal koran bergambar pelantikan gubernur di daerah itu.

“Ih Kakak, udah tau singkong kita habis, coba deh kita nanam singkong aja di sebelah rumah ini, dibolehin gak kira-kira ya, sama Abah Anom?” Tanya istrinya itu.

Abah Anom adalah seorang laki-laki paruh baya yang dituakan di kampung tersebut. Abah Anom lah yang menerima pasangan ini untuk tinggal di kampungnya.

Kampung Badui. Sebuah desa tidak terlalu jauh dari Ibu Kota provinsi. Sebuah lembah indah dengan hamparan padang rumput menghijau nan indah, sawah dan padi yang tumbuh dengan subur, tanaman yang rimbun menjulang, hingga suara burung berkicau. Sebuah tempat yang memanjakan mata dan jiwa dengan pemandangan alaminya.

Kampung ini dihuni sekitar dua puluh kepala keluarga yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat yang dipandu dan dibimbing oleh Abah Anom sendiri. Sebelumnya mereka menganut kepercayaan animisme. Di bawah bimbingan Abah Anom, mereka dengan kesadaran diri menerima agama Islam sebagai jalan hidup yang sebenar-benarnya.

Sebulan lalu Mar’ah dan suaminya Daeng yang berasal dari Sulawesi mendapat tugas mulia untuk membina para muallaf di kampung ini. Suaminya menerima tugas dakwah dari salah satu ormas terbesar di negeri ini. Sebuah tugas mulia yang tidak cukup bermodalkan materi saja namun lebih dari itu harus siap memberikan segala hal yang besifat non materi terlebih lagi mental.

Abah Anom sebagai sesepuh dan tokoh yang menginisiasi berdirinya kampung muallaf ini sangat senang dengan kehadiran mereka berdua. Nama aslinya adalah Ahmad Choirul Anam, biasa dipanggil Abah Anom oleh masyarakat setempat karena perawakannya memang cocok dipanggil dengan Abah. Janggut tebalnya yang mulai memanjang telah berwarna berwarna putih, badan tambun, dan rambut kepala yang mulai botak serta suaranya yang berwibawa.

“Nong, ambu-ambu di sini mah belum pada bisa mandi bersih, Nong” celetuk Abah pada suatu sore menjelang ashar. “Nong bisa kan ngajarin mereka,” Kata Abah lagi.

“In syaa Allah, Abah. Saya akan mengajari mereka semampu saya, Bah.” Jawabnya sambil membenahi gamisnya yang kecipratan genangan air bekas hujan pagi tadi.

“Si Daeng kemana atuh Nong, dari tadi siang Abah gak ngeliat?” Tanya Abah lagi.

“Owh Kak Daeng lagi ke tegal, Bah. Tadi Nong minta dicabutin singkong buat camilan di rumah.” Jawabnya lagi.

“Biar tidak jauh-jauh… klo mau nanam singkong di sebelah rumah mah tanam aja Nong, tanah di sini mah subur, cepet tumbuhnya klo hanya sekedar singkong.” Jelas Abah dengan logat Sunda.

“In syaa Allah, Bah. Nong pamit dulu ya Bah, hatur nuhun,” jawab Mar’ah seraya pamit.

Maghrib ini tidak biasanya mushola penuh dengan para ambu. Ambu adalah sebutan untuk wanita yang telah menikah dan memiliki anak. Mushola yang berukuran 5 x 5 meter ini hampir penuh dengan kehadiran mereka. Daeng setengah kaget ketika memasuki mushola. Seperti biasa dia akan mengumandangkan adzan maghrib. Usut punya usut rupanya Abah Anom yang mengajak para ambu kampung muallaf ini untuk berkumpul di mushola kecil ini,

“Mau diajarin mandi.” Kata salah seorang dari mereka bernama Zubaedah. Daeng pun kaget, “Diajarin mandi?” Tanyanya kembali.

“Iya… Nong Marah katanya yang mau ngajarin mandi, Kang,” timpal Wok Bahriyah. Dia menyebut nama istrinya tanpa huruf ‘ain. Daeng pun baru tersadar kalau urusan belajar mandi sama istrinya berarti bukan mandi biasa. Maka segera ia pulang ke rumah.

 “Dek, benar kah mau ngajarin mandi ibu-ibu di mushola?” Tanya nya setelah mengucapkan salam.

  “Iya, Kak. Tapi ini Jahid belum nyenyak tidurnya dari tadi kasian. Banyak sekali nyamuk di sini,” keluh Mar’ah.

  “Owh klo begitu biar Jahid sama Kakak, kamu pigi ke musholla pakai senter itu ya, hati-hati banyak jalan tergenang air,” pesan suaminya.

Mar’ah pun segera berangkat ke musholla. Sesampainya di musholla Mar’ah pun memberikan pengajaran tentang mandi janabat kepada kaum ummahat di sana. Mereka sangat antusias sekali. Maklum mereka selama ini memang tidak pernah mendapatkan pencerahan ilmu, apatah lagi imu agama ilmu tekhnologi saja sebagian dari mereka yang berasal dari suku Badui Dalam konon dilarang untuk mencarinya.

Tradisi dan adat istiadat suku Badui memang sangat susah untuk dirubah. Mereka yang lebih suka disebut dengan Urang Kanekes tampak lebih mempertahankan dan menghormati adat istiadat mereka daripada menerima pencerahan dan tambahan wawasan dari luar. Mereka tidak mau menggunakan tekhnologi, tidak memakai alas kaki, baju sehari-hari harus dijahit sendiri dan harus berwarna hitam dan putih, tidak bersekolah, tidak memainkan atau sekedar memegang gadget apalagi sampai memilikinya.

Ambu, coba bantu saya menjadi contoh di depan yuk!” Mar’ah mengajak salah seorang ibu yang bernama Mar’onah. “Yuk, Ambu Onah, bantu saya,” bujuk Mar’ah seraya menggamit tangan Bu Onah yang tampak malu-malu.

Ambu… jadi klo kita habis beribadah dengan suami, kita wajib mandi. Mandi besar atau mandi janabat namanya ya,” terang Mar’ah sambil bersiap-siap memperagakan cara berwudhu dan menyiram air ke kepalanya.

“Nong, klo kita habis datang bulan, atuh harus mandi besar juga ya?” Tanya salah seorang ibu yang bernama Wak Bahriyah. Beliau sepertinya dari suku Badui luar terlihat dari bahasa Indonesia yang digunakan sudah cukup lancar.

Mar’ah pun menjelaskan dengan sederhana tentang mandi wajib tersebut. Peserta kajiannya pun memperhatikan dengan sangat antusias. Waktu sudah menjelang Isya. Saatnya Mar’ah harus kembali ke rumah karena bergantian dengan suaminya untuk menjaga si Jahid. Bersambung

Ditulis oleh: Dee Ahqof212