Kepak Sayap Bidadari Part 2

31 Agustus 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Kepak Sayap Bidadari Part 2

Tak disangka ada bayangan yang mengikuti Mar’ah dari belakang. Bayangan itu terlihat dari sinar lampu senter yang ia pakai untuk menerangi jalan. Mar’ah setengah takut namun tetap waspada dan senantiasa melantunkan dzikrullah di lisannya. Bayangan itu tidak sekadar bayangan tapi nyata kini di hadapannya. Dan tidak hanya satu tapi tiga sosok berbaju gelap berdiri di hadapannya.

“Jangan macam-macam di sini, Nong gelius” ancam salah seorang dari mereka.

Astaghfirullah… astaghfirullah… astaghfirullah…” kalimat istighfar terus dilantunkan oleh Mar’ah. Dia yakinkan diri kalimat istighfar bisa memberikan jalan keluar di tengah kesulitannya.

“Jangan sok alim, Nong Cantik.” Kembali ancaman keluar dari mulut salah satu dari mereka.

“Jangan ganggu kami lagi kalau tidak mau ini!” bentak orang ketiga sambil mengacungkan sebilah belati.

Mar’ah terkesiap melihat kilatan belati itu. Astaghfirullah… Istighfar tidak lepas dari mulutnya. Tiba-tiba salah satu dari mereka menjerit kesakitan rupanya ada kalajengking yang menggigit kakinya yang tidak beralas kaki. Ketika mereka sedang lengah segera Mar’ah lari menuju rumahnya sambil memanggil suaminya. Suaminya pun membuka pintu dengan cemas.

“Kenapa, Dek?” Suaminya segera memeluk Mar’ah yang terlihat sangat ketakutan.

“Ada… ada… ada yang…,” terengah-engah Mar’ah hendak menceritakan tapi nafasnya terus memburu karena ketakutannya.

Suaminya pun buru-buru memberikan air minum kepada Mar’ah dan memeluknya dengan erat. Setelah mulai tenang Mar’ah pun menceritakan kejadian yang dialaminya. Daeng pun menenangkan dengan sabar sambil terus mengingatkan sebuah ayat ­Intanshurullah yanshurkum. Setelah kondisi Mar’ah terlihat lebih ceria, Daeng memberikan masukan kepada istrinya agar kajian dipindahkan saja ke rumahnya jadi Mar’ah tak perlu repot-repot pergi ke musholla seorang diri. Kajian memang hanya bisa diadakan setelah maghrib karena dari pagi sampai sore para ambu bekerja di sawah dan di ladang membantu suami mereka.

Di sepertiga malam ini dirasakan oleh Mar’ah sangatlah berbeda. Mar’ah merasakan sebuah beban yang sangat berat ada di hatinya. Ia luapkan segalanya kepada sang Pemilik Hati. Ya Allah. Hamba merasa tak sanggup menjalani ini. Sabarkan jiwaku ya Rabb. Lapangkan hatiku  Ya Rabb. Mudahkanlah urusanku Yaa Rabb. Engkau Maha Pengatur segalanya. Hamba hanya mengikuti titah-Mu dan taat pada suamiku Yaa Rabb.

Tangis Mar’ah pun pecah dalam sesenggukan yang teramat dalam. Ia pun teringat kepada kedua orang tuanya, saudaranya, dan juga rumahnya dikala sebelum menikah, betapa nyamannya dia di tengah keluarganya. Kini, ia harus mengikuti dan taat kepada suaminya. Kepada belahan jiwanya yang baru dikenalnya yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi penjaganya di dunia, penghiburnya di kala susah. Yaa Rabb, satukan kami dalam cinta karena Mu. Jaga suamiku, lindungi dan jauhkan ia dari segala marabahaya Yaa Rabb. Mampukan hamba untuk mendampinginya di kala susah dan senangnya Yaa Rabb. Tangis Mar’ah malam itu.

Pagi itu Daeng akan berangkat ke Ibu Kota untuk mengurus berkas proposal pengajuan masjid Kampung Muallaf Badui. Tak bosan-bosannya Daeng mengingatkan istrinya untuk tidak keluar rumah sampai ia kembali pulang. Mar’ah pun berjanji untuk menaati perintah suaminya. Maka Daeng pun berpamitan seraya mengecup kening Mar’ah dengan tulus. Dalam hati Mar’ah pun sejuta do’a ia munajatkan kepada Allah agar Allah menjaga suaminya di mana pun berada  sampai kembali ke rumah.

Menjelang Isya belum ada tanda-tanda Daeng sampai ke rumah. Tidak ada suara adzan maghrib yang seperti biasa dikumandangkan oleh Daeng. Para lelaki di kampung itu belum ada yang bisa mengumandangkan adzan. Abah Anom pun tinggalnya lumayan jauh dari perkampungan itu. Mar’ah pun dengan setia menanti kepulangan Daeng dengan menyiapkan sepiring nasi jagung, ikan asin sepat, rebus daun singkong, dan sambal terasi mentah tanpa bawang. Itu pun sudah terbilang mewah. Biasanya di kampung Sulawesi selalu ada ikan kuah palumara yang dimasak dengan asam dan dimakan dengan sambal bawang. Tapi, lagi-lagi beginilah yang harus dijalani oleh Mar’ah saat ini. Sesekali Mar’ah mengintip keluar melalui celah-celah gorden yang lebih tepatnya sarung yang dipasang untuk menutupi jendela rumahnya. Belum ada tanda-tanda Daeng sampai. Untuk mengusir kebosanan, Mar’ah pun bermain-main dengan Jahid sambil membacakan surah al Fatihah.

Samar-samar terdengar suara langkah kaki di luar. Bahagia hati Mar’ah mendengarnya. Bersiap ia menyambut suaminya. Namun, suara langkah kaki itu menghilang. Ah, mungkin orang lewat saja batinnya. Sebentar kemudian terdengar lagi suara langkah-langkah kaki. Kali ini Mar’ah tidak menggubrisnya. Tiba-tiba tercium aroma kayu yang terbakar dari belakang rumahnya. Segera ia ke belakang untuk melihat siapa tau dia lupa mematikan puntung kayu yang baru saja digunakan untuk memasak.

Ah, masya Allah… innaalillahi… kenapa bisa begini? Gedhek dapurnya terbakar. Ingin rasanya ia memadamkan api yang terbakar itu dengan air yang ada di beberapa jerigen miliknya tapi ia teringat si Jahid bayi mungilnya yang berusia enam bulan. Ia pun kembali ke ruang depan ingin mengambil Jahid. Namun, ruang depan pun telah terbakar juga. Api dengan mudahnya melalap gedhek-gedhek rumahnya. Tanpa pikir panjang diambilnya Jahid dan dilemparkannya keluar melalui jendela rumah. Sementara ia kembali mengambil jilbabnya, naas dia tertimpa tiang penyangga rumahnya yang mulai rapuh termakan si Jago Merah. Ia pun pingsan.

Dari kejauhan Daeng mendorong motornya yang rupanya putus rantai. Ia mendorong motornya melewati tanjakan tanah yang becek dan licin. Sesekali ia harus kepeleset karena mengimbangi berat motor usangnya. Dalam hatinya, sampai rumah pasti aku langsung makan dan tidur lelap. Belum sampai, dia tekesiap melihat kobaran api yang berasal dari arah rumahnya. Ditinggalnya motor usangnya dan berlari menuju rumahnya. Didapati Jahid berada dalam gendongan Wok Bahriyah dan para ambu yang telah berkerumun. Daeng mengambil Jahid dan seketika ia teringat Mar’ah. Dia serahkan kembali Jahid kepada Wok Bahriyah dan hendak menerobos kobaran api. Tapi, dua tangan laki-laki telah menahannya. Dia pun menoleh pada laki-laki itu. Dilihatnya Abah Anom memeluknya dan menggeleng pelan, “Jangan Daeng. Dia sudah terbang ke Surga.”

Oleh: Dee Ahqof 212