Wanita Pemburu Surga

28 September 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Wanita Pemburu Surga

Berdakwah itu tidak mudah. Butuh kekuatan hati untuk memulainya. Banyak bisikan-bisikan yang membuat kita enggan melakukannya.

“Perbaiki diri dulu baru perbaiki orang.”

“Hati-hati, kaburo maqtan ‘indallahi an taquluu maa laa taf’alun.”

“Pendakwah itu resikonya berat, loh.”

Dan masih banyak bisikan-bisikan lain yang kerap menghampiri. Demikian pula yang pernah saya alami. Suatu hari saya berada di titik, di mana jenuh itu mendekap begitu kuat, membuat diri tak sanggup bergerak. Merasa diri tak pantas menjadi pendakwah hanya karena sesekali suami komplain, soal pekerjaan rumah, atau bersuara tinggi disebabkan oleh kesalahanku sendiri. Ingin rasanya berhenti dari semua aktifitas dakwah.

Mencoba memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar dikeluarkan dari masalah. Namun ternyata jawaban yang hadir justru di luar dugaan.

Tiba-tiba masuk sebuah chat dari kawan lama. Ayu, wanita kelahiran 90-an, lembut, cantik, imut dan bertalenta. Menyampaikan sedikit prolog dan tiba pada inti masalahnya.

“Ustadzah, sejak saya pindah ke rumah mertua di Jawa, suami saya banyak berubah. Dia enggan melaksanakan shalat, cuek dan tak lagi perhatian pada saya.”

Ia melanjutkan chat-nya, “Mertua juga marah karena saya tidak mau diajak berobat kampung. Saya harus dimandikan di laut sebagai ikhtiar memiliki anak. Setiap hari rasanya ingin berpisah. Lelah rasanya menangis.”

Allahul musta’an, saya merasa shock. Seperti ditampar-tampar. Ayu, aku sangat memahami pribadinya. Sempat beberapa tahun bersamanya, saat tugas di salah satu daerah di Kaltim. Wanita yang memiliki ghirah yang tinggi untuk belajar agama, rajin halaqoh dan guru idola murid-murid TK.

“Saya sekarang jualan sembako, jam empat subuh sudah harus ke pasar mengambil barang dari tengkulak. Jaga warung sampai malam, karena suami belum ada kerjaan.” Aku termenung membayangkan sosok yang ghirah berjuangnya sangat tinggi tiba-tiba harus berada jauh dari hiruk pikuk jamaah.

Subuh yang biasanya dihabiskannya dengan tadarus dan berdzikir kini harus meninggalkan rumah menembus dinginnya cuaca. Sebuah foto barang dagangannya di motor ia kirim, gambar yang semakin menyesakkan dada. “Saya cuma pengen suami saya dapat hidayah, bisa memperlakukan saya dengan baik dan penuh kasih sayang, saya rindu nasihat Ustadzah.”

Kutarik nafas dalam-dalam. Jemariku seakan tak mampu mengetik satu huruf pun. Apa kabar hatiku? Masihkah kau di sana memelihara kufur nikmat yang meracunimu? Astagfirullah wa atubu ilaih. Bukan rasa tidak pantas yang harus dipelihara. Tapi bagaimana bisa memantaskan diri agar layak menyeru kebaikan.

Jazakillahu khairan ustadzah, saya merasa lebih kuat. Insyaallah saya akan terus mendoakannya dan mendekat pada Allah.

Ingin kubisikkan di telinganya, “Ukhty, saya yang ingin berterima kasih padamu. Saya terlalu yakin bahwa bahwa anti adalah hamba yang Allah kirimkan untuk menjawab segala gundah.” Membuka mata hati bahwa di luar sana terlalu banyak wanita yang sedang memikul beban masalah. Mereka butuh nasihat kita.

Wahai diri, tetaplah menjadi da’iyyah tangguh, agar nikmatnya iman dan Islam dapat dirasakan semua ummat.

:: Untukmu Sang Pemburu Surga ::

Segaris senyum tanpa rasa.

Hambar.

Pendar kehampaan menyeruak.

Berebut hadir dengan keimanan yang perlahan rapuh.

“Aku lelah menata hati.”

Ujarnya dengan nada putus asa.

“Apa yang kau inginkan sekarang?”

Tanyaku tanpa basa basi.

“Sendiri.”

“Jangan! Aku takut ada yang menyusup di tengah kesendirianmu, lalu mengunci pintu surgamu dengan kebaikannya.”

“Tetaplah di situ! Menangislah hingga lelah, bertahanlah hingga tercium aroma surga “

‎سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ

*/Mujtahidah M. Salbu