Hijrah itu Asa, Dakwah itu Cinta

11 Oktober 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Hijrah itu Asa, Dakwah itu Cinta

“Kamu yakin ingin resign? Kamu sudah dapat promosi, lho!”

“Kamu gak salah pilih? Kamu bisa dapat yang lebih baik, lho!”

Tanya itu menggema, menyeruak di antara niat hati. Menyelinap di antara harap dan mimpi. Menggoda langkah kaki untuk berhenti. Namun, sungguh tekad itu telah bulat. Hingga deretan tanya tak lagi jadi penghambat. Selanjutnya, hijrah itu bermula.

Tepat 1 Muharram, lima belas tahun silam. Kala itu …

Menjejak tanah berbukit, menyusuri jalan menanjak. Memasuki gerbang, berpagar membentang, meninggalkan segenap obsesi remaja. Menanggalkan gemerlap buaian dunia. Mencoba menguatkan hati untuk memperbaiki diri. Memberanikan diri untuk mengabdi sebagai santri.

“Perbaiki niat, sebab niat akan mengantarmu ke tempat yang kamu harapkan. Jika niatmu salah, maka kamu tak akan mendapat bahagia, hanya resah gelisah.” Pesan itu masih terngiang jelas, saat ayah ibu mengantar hingga ke bandara. “Kamu akan melakukan perjalanan jauh, sejauh kehidupan masa depan yang akan kamu jelang.” Mereka menambahkan kalimat penyemangat dengan sepenuh cinta.

Hingga pada akhirnya, doa mereka menguatkan langkah. Melintasi lautan, menembus batas keyakinan sanak kerabat dan handai taulan. Maka, ketika keputusan berhijrah telah terucap, pantang untuk menyerah dan kembali pulang. Bahkan saat gempa meluluh-lantakkan Jogja di bulan keempat tahun 2006. Menyentak pikir mencipta khawatir. Sedih? Tentu saja, iya.

Kota itu. Baru sekitar lima bulan meninggalkannya dengan segenap kenangan penghabisan masa remaja. Kota yang menyimpan banyak cerita dan menjadi kampung halaman tercinta, harus porak poranda karena gempa atas kuasa-Nya. “Mau pulang?” Sebuah pertanyaan sekaligus penawaran untuk kembali terbang. Namun, gelengan kepala menjadi jawaban pasti. Karena nyatanya, hati telah tertambat pada pesona pesantren ini. Hidayatullah.

Siapalah yang dapat menolak sebuah hidayah terindah. Ber-Islam dalam irama dan kultur yang tertata penuh berkah. Bergerak bersama para mujahidah solihah. Belajar memperbaiki hati dan ibadah. Hingga pada akhirnya, berbilang waktu telah terlalui, lima buah hati terlahir sebagai penerus generasi. Alhamdulillah , Allah masih memberi ruang dan waktu untuk berkarya dalam bingkai sami’na wa ato’na.  

Lima belas tahun bukan tanpa tantangan. Rindu orang tua menjadi goncangan terberat. Membayangkan orang tua menua, hanya berdua, sedih rasanya. Namun, tetap bertahan adalah pilihan.  Bukan pilihan baik, tapi insyaaAllah menjadi pilihan terbaik.

Tanggal 1 Muharram selalu menjadi pengingat diri, mengingat titik balik perjalanan hidup. Setiap awal Muharram, sebuah sapa dan doa spesial akan selalu terlantun dari seberang sana, dari ibunda tercinta. Maka, rasa haru pun akan kembali menyeruak dalam asa bahagia. Satu keyakinan hingga kini, bahwa hijrah itu asa terindah.

Duhai Muslimah yang terlahir, tumbuh dan berkembang dalam nuansa keIslaman. Berbahagialah. Karena Allah telah memberimu tempat terbaik. Menghidupkanmu dalam lingkungan terindah. Janganlah pernah membandingkan kehidupanmu dengan dunia luar. Sungguh, duniamu saat ini jauh lebih menjanjikan kebahagiaan nyata. Percayalah, tak ada kehidupan yang lebih nyaman dibanding tempat ini.

Duhai Muslimah yang berjuluk kader, berbanggalah. Karena Allah telah memilihmu untuk berjuang dalam barisan Islam. Janganlah pernah membayangkan untuk mundur apalagi meninggalkan barisan. Teruslah kokohkan langkah kakimu, eratkan genggamanmu. Jangan biarkan tempatmu hilang. Sungguh, pilihanmu bergabung di tempat ini adalah benar. Percayalah, tak ada yang lebih baik dibanding tetap bersama para pejuang.

Kelak, kamu akan tahu, bahwa kiprahmu akan menjadi sejarah. Sebab jejak karyamu akan tercatat sebagai amal jariyah. Kita bukanlah pendahulu, namun kita bukan pula penutup perjuangan. Kita hadir sebagai penyambung, agar perjuangan itu terus berjalan. Maka, teruslah melangkah. Teruslah berjuang melanjutkan segenap cita-cita. Meneguhkan semangat dan ikrar hati. Melahirkan deretan generasi Qurani. Mewujudkan peradaban Islami. Allahu Akbar!!!

Zaman memang telah berganti, namun cerita tak akan jauh berbeda. Selalu akan ada dua sisi yang mengiringi, dua hal yang tak terpisahkan. Sisi penentang dan sisi pengikut. Keduanya akan selalu membayangi jejak langkah dakwah perjuangan. Rasulullah SAW pun butuh waktu yang tidak sedikit, hingga pada akhirnya beliau berhasil menegakkan kalimat Tauhid di bumi ini atas izin-Nya. Menjadikan syariat Islam sebagai hukum tertinggi.

Jadi janganlah khawatir, sebab sisi penentang pun akan berakhir sama. Adzab Allah SWT akan terus membayangi mereka, jika taubat tak terucap. Maka, masa setengah abad perjuangan Hidayatullah janganlah tersiakan. Lima puluh tahun bukan waktu yang pendek untuk upaya perjuangan, meski jelas perjuangan ini masihlah panjang. Tapi setidaknya, kita sudah ambil peranan. Pastikan ada jejakmu disana, duhai Muslimah terbaik. Mari terus berfastabiqul khairat dalam dakwah dan kebaikan, duhai kader perjuangan. Berharap tetap istiqomah dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Sungguh, hijrah itu asa, dakwah itu cinta.*/

*Asri Wulantini

PW Muslimat Hidayatullah Jawa Barat