Perempuan Kuliah di Benua Afrika, Untuk Apa?

13 November 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Perempuan Kuliah di Benua Afrika, Untuk Apa?

Terik panas yang menyambut, sesaat setelah beberapa langkah keluar dari bandara Internasional Khartoum adalah terik yang belum pernah ku rasakan selama menetap di Indonesia. Troli bandara yang penuh dengan koper-koper besar, ditemani oleh sosok wajah polos dengan kecanggungan, kebingungan, dan hati yang merapal keyakinan berkali lipat, diam di lobi di depan bandara.

            Itu peristiwa sekitar dua tahun lalu, ketika pertama kali aku menapak di sebuah negeri bernama Sudan. Banyak orang tak mengenalinya, baru sedikit ‘lebih dilirik’ saat seorang Ustadz kondang, yaitu Ustadz Abdul Somad memutuskan menempuh S3 di sana. Beberapa kali aku mengurus surat dan dokumen keberangkatan, petugas administrasi negara bertanya, “Kamu mau kuliah di mana?” Basi-basi mereka yang penasaran mau kemana anak baru lulus SMA ini sudah sibuk duduk di ruang antrian pengurusan paspor, visa, SKCK, dan lain sebagainya.

            “Mau ke Sudan.”

            “Ngapain ke Sudan? Mau jadi petugas perdamaian di sana?” Sedikit tertawa, bapak itu menanyakan hal itu kepadaku. Sayangnya suaranya besar sekali. Hingga perhatian orang-orang yang mengantri seketika tertuju pada kami berdua.

            “Mau belajar, Pak.” Merasa ditantang, mungkin, aku menjawabnya tegas. Seperti ketegasan yang biasa aku keluarkan ketika sedang menyidang santriwati yang lima kali telat sholat jama’ah di pesantren.

            Banyak sekali orang bertanya, untuk apa aku jauh-jauh kuliah di Sudan? Sebuah negeri yang dijuluki tujuh matahari karena suhu panasnya yang sangat fantastis. Apalagi kita perempuan, ujung-ujungnya nanti menikah belum tentu bisa berkarir sebagaimana kaum pria. Jangan-jangan kita malah diam di rumah, mengurus suami dan anak-anak, untuk kemudian melihat bahwa ijazah kita tersimpan rapi di map lemari saja. Nggak nyesel tuh, udah kuliah jauh-jauh kalau ujung-ujungnya begitu?

            Dari hiruk-pikuk kehidupanku di Sudan, pertanyaan-pertanyaan itu sudah sering mampir di telingaku. Tapi bagiku menuntut ilmu itu tak hanya soal ijazah saja. Apalagi ada pembatasan jenis kelamin mana yang boleh untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Menurutku, justru karena kita perempuan, kita harus menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Bukan untuk menyaingi laki-laki. Untuk apa? Toh, dalam agama kita yang paling dinilai disisi Allah hanyalah ketakwaan. Jadi jika pegiat feminis, misalnya, berkata kita menuntut ilmu untuk sebuah tujuan meraih hak dan kebebasan sebagaimana kaum pria. Seharusnya kita, muslimah memiliki tujuan yang lebih mulia. Mencari ridho-Nya. Sehingga kita bisa menempuh ketakwaan kepada Allah tak hanya berlandaskan ‘ikut-ikut doang’ tapi memiliki landasan bernama ilmu yang bisa menuntun kita ke jalan yang benar.

            Jika kalian ingin merasakan suasana kuliah dengan segenap kenyamanannya. Sudan bukan menjadi destinasi yang tepat. Di sini tak hanya butuh manusia-manusia dengan akal yang tajam saja untuk bertahan, dibutuhkan juga kemampuan dari hati yang selalu siap ditempa dengan kesabaran diantara tingginya ujian atau rasa syukur yang harus diselipkan sekecil-kecilnya nikmat.

Perempuan tidak boleh manja! Sudan dengan kehidupannya yang serba terbatas mengajarkan kita untuk memiliki ketahanan niat dan mental untuk meniti jalan menuntut ilmu di negeri tempat sungai nil putih dan nil biru ini bersatu. Susah-susah kuliah ke negeri di benua Afrika, jangan sampai kita tidak mendapat apapun atau memberi apapun kepada sesama.

            Walaupun begitu, yang menarik di sini adalah halaqoh keilmuan Islam yang begitu indah menawarkan aliran-aliran ilmu pada jiwa-jiwa yang haus. Banyak sekali majelis-majelis keilmuan yang ada membahas banyak sekali cabang-cabang ilmu dengan ulama’ yang adab dan akhlaknya selalu teduh ditiru. Banyak dari mahasiswa Indonesia, yang rela menempuh jarak ribuan kilo, untuk menempuh jalan mencari ilmu agama di negeri bernama Sudan karena kemasyhuran negeri ini akan kekayaan ilmu dan ulama‘nya.

            Aku juga ingin sedikit bercerita, tentang rasa yang sering aku dapatkan ketika berada di majelis ilmu itu. Berada di tengah-tengah manusia, dengan tatapan mata yang antusias menerima ilmu yang disampaikan, ditambah dengan suara masyaikh yang begitu meneduhkan menyampaikan ilmu itu, mau tidak mau ada juga yang dingin di hatiku. Ibarat kita sedang berada di dalam samudera dengan kedalaman yang tidak terukur dan menemukan banyak pemandangan-pemandangan laut yang tak bisa dijangkau mata andaikata kita hanya berdiam di atas permukaan.

            Rupanya ilmu itu juga demikian. Semakin kita menyelam, semakin itu juga kita merasa bahwa apa yang kita selami masih belum ada apa-apanya. Di Sudan dengan pemadaman listrik berkala, panas matahari yang bisa menyentuh empat puluh derajat, atau ketidakstabilan ekonomi negaranya, halaqoh ilmu itu yang mungkin menjadi salah satu peneduh. Yang mendinginkan jiwa-jiwa yang haus. Belum lagi jika kita bertemu dengan penduduk setempat, yang memiliki kebaikan hati dan keramahan tinggi, rasanya, seolah kita diberi kasih sayang seperti bagian dari keluarga sendiri.

            Bagi perempuan, kuliah di Sudan menawarkan pendekatan belajar yang berbeda. Tak perlu jauh-jauh kuliah di sini kalau hanya untuk mendapat gelar. Setiap pembelajaran yang ada di Sudan tak hanya menyuguhkan pelajaran dalam lingkup kecil di ruang kelas, lebih dari itu, banyak sekali hal-hal di kehidupan, yang menuntut kita belajar akan banyak makna. Kesabaran, syukur, kesederhanaan, penerimaan, dan lain sebagainya. Bukan tanpa alasan, hidup di Sudan nggak tragis-tragis amat sih, cuma agak susah aja, hehe.

            Jadi, perempuan kuliah di benua Afrika sebenernya untuk apa, sih? Hmm. Di Sudan banyak sekali ilmu agama yang bisa diserap dan dicari. Tentu saja sebagai perempuan muslimah, bukan zamannya lagi, kita harus ‘iya-iya’ aja ketika dihadapkan dengan problematika di sekitar kita. Muslimah harus bisa berilmu untuk menentukan pilihan hidup yang  baik dan berkontribusi untuk umat. 

*/Faradillah Awwaluna Musyafa
Juara 1 Lomba Menulis Kategori Mahasiswi, Keputrian Muslimat Hidayatullah