Muslimat Hidayatullah Tolak RUU Kesetaraan Gender

13 Desember 2013

Oleh : admin

mushida

MUSHIDA.ORG —  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), demikian kedudukan antara pria dan wanita di dalam Islam sebagaimana ditetapkan Allah dalam al-Quran. Karena itulah kelebihan pria atas wanita tidak bisa disamakan atau disetarakan.

Pernyataan ini disampaikan oleh organisasi Muslimat Hidayatullah dalam sebuah rilisnya yang dikirim ke kantor redaksi Senin (23/04/2012) siang.

Pernyataan sikap Muslimat Hidayatullah (Mushida) disampaikan gune mengkritisi Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender (RUU KKG) yang kini berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selanjutnya, Mushida juga mengutip defenisi keluarga menurut UU Perkawinan 1974,  di mana suami adalah kepala keluarga (pasal 31 ayat 3) dan berkewajiban memenuhi keperluan hidup berumahtangga termasuk pemenuhan nafkah, perlindungan (pasal 34 ayat 1). Sehingga sebagaimana termaktub di atas suami dan istri mempunyai tanggung jawab yang tidak sama baik dalam urusan yang berhubungan dengan anak  atau dalam urusan lain dalam keluarga.

Mengingat banyaknya kerawanan dalam RUU ini, maka Mushida secara tegas menolak keberadaan RUU ini yang dinilai akan mengancam keluarga Muslim yang secara hukum sudah terwakili dalam UU Perkawinan. Termasuk menyangkut kekerasan dalam rumah tangga (KDTR) atau perlakuan diskriminatif lainnya.

Karenanya, Mushida menilai, keberadaan RUU KKG ini tidak penting dan tak dibutuhkan.

“Bahwa di dalam melaksanakan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat  sudah ada Undang Undang  no 1 tahun 1974 tentang  Perkawinan,” demikian tulisnya dalam rilis pers nya.

“Bahwa dalam menjamin hak setiap orang untuk bebas dari perlakuan diskriminasi sudah ada UU no 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.”

Menanggapi beberapa pasal dalam RUU ini, organisasi perempuan Hidayatullah  ini juga memberikan tanggapan.

Di antaranya adalah pasal  12 a. dalam RUU KKG yang berbunyi, “Memasuki jenjang perkawinan memilih suami atau istri secara bebas.”

Menurut Mushida, “Jika pasal ini diundangkan, maka perempuan boleh menikah sesama jenis ataupun juga laki laki boleh menikah sesama jenis, dan ini dilindungi oleh hukum. Atau, jika seorang gadis ingin dinikahkan dengan idamannya, walaupun berbeda keyakinan, maka demi hukum, orangtuanya tidak berhak mencegah anak gadisnya.”

Selain itu, juga Pasal 15 f dalam RUU KKG yang berbunyi “Memenuhi tanggung jawab yang sama sebagai orang tua dalam urusan yang berhubungan dengan anak.”

Menurut Mushida, dalam sebuah keluarga menurut UU Perkawinan, suami adalah kepala keluarga (pasal 31 ayat 3) dan berkewajiban memenuhi keperluan hidup berumahtangga termasuk pemenuhan nafkah, perlindungan (pasal 34 ayat 1).

“Sehingga sebagaimana termaktub di atas suami dan istri mempunyai tanggung jawab yang tidak sama baik dalam urusan yang berhubungan dengan anak  atau dalam urusan lain dalam keluarga.”

Pasal-pasal RUU KKG, dinilai Mushida banyak tidak sesuai dengan  UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Berdasarkan pertimbangan  di atas maka Muslimat Hidayatullah melalui Reni Susilowati (Ketua) dan Amalia  Husna  Bahar (Sekjen)  menolak adanya RUU KKG ini karena sebagaian atau keseluruhan pasal-pasalnya tidak sesuai dengan ajaran prinsip prinsip agama dalam berkeluarga.* (Republika)