Tanggal 28 Maret 2024 genap 25 tahun hidayah Islam menyapa hidupku. Tak pernah sekalipun aku membayangkan akan menjadi seorang muallaf dan menjalani hari-hari sebagai seorang muslimah. Terlahir dari keluarga Katholik yang taat, aku bahkan pernah berkeinginan untuk menjadi seorang biarawati.
Cita-cita ini kupupuk sejak aku duduk di bangku SMA dan aku berusaha untuk mewujudkannya dengan ikut aktif dalam kegiatan keagamaan di lingkungan gereja dan juga di organisasi remaja gereja. Namun, menjelang kelulusan sekolah, aku memutuskan untuk kuliah dulu sambil mencari informasi lebih detail mengenai sekolah keagamaan. Ternyata, semakin lama, cita-cita itu perlahan semakin memudar.
Di lingkungan kuliah, aku banyak mempunyai teman dan sahabat muslimah. Padahal jauh sebelumnya, saat mendengar suara azan saja, aku sudah menggerutu kesal dan memaki karena merasa terganggu. Terkadang, aku memandang sinis kepada teman-teman berjilbab lebar karena menurutku mereka tertinggal dalam segala hal. Astaghfirullah.
Namun, Allah Maha membolak-balik hati hamba-Nya. Suatu saat, aku yang gemar membaca, menemukan sebuah buku berjudul Mengapa Aku Akhirnya Memilih Islam? Isinya mengenai kisah hidup seorang muallaf yang mendapat hidayah Islam karena tertarik mendengar suara azan.
“Apa nggak salah, nih?” tanyaku dalam hati. Ragu-ragu dengan pernyataan beliau. “Aku saja kalau mendengar azan selalu menutup telinga dengan kedua tangan, bahkan tak jarang dengan bantal atau guling. Eh, ini kok aneh banget!” ujarku tak yakin.
Aku bersikap seperti itu karena tempat kosku terletak tepat di depan sebuah masjid besar, yang ketika azan berkumandang suaranya terasa memekakkan telinga. Bagiku saat itu aneh, karena untuk beribadah saja mengapa harus berteriak memanggil? Jawaban itu akhirnya kutemukan setelah masuk Islam.
Hingga suatu pagi, aku tiba-tiba terbangun dini hari dan tanpa sadar menikmati suasana pagi yang segar. Bintang dan bulan masih kelihatan cantik di angkasa, awan menggantung di langit yang jernih. Aku menghirup nafas panjang, merasakan kenikmatan pagi yang jarang kualami, karena terus terang sebagai seorang nonmuslim, aku selalu bangun di atas jam 6 pagi.
Pada suatu pagi yang sunyi, tiba-tiba menyeruak suara azan yang berkumandang. Entah mengapa, suara azan pagi ini terasa syahdu dan nikmat sekali di telingaku. Getarannya sampai ke hatiku, membuat air mata tiba-tiba mengalir tanpa bisa kubendung.
Sejak kejadian itu, diam-diam aku selalu menantikan suara azan dari masjid di seberang rumah kos. Seiring dengan itu, kegelisahan semakin melanda hati. Aku kemudian membaca sebuah buku lain lagi yang isinya mengenai ketauhidan atau keesaan Allah. Aku mulai berpikir mengenai agamaku saat itu dan mulai membandingkan dengan konsep ketuhanan yang sederhana yang dimiliki Islam. Akhirnya, aku mencari seorang Ustadz untuk membimbingku dan akupun memutuskan untuk berhijrah, menyambut hidayah Islam dalam hidupku.
Kisah Sumayyah binti Khabat
Jalan hidayah yang kulalui hingga saat ini mengingatkan aku pada sosok shahabiyah yang sangat menginspirasi karena keteguhan hatinya dalam memegang Islam di kehidupannya. Beliau adalah Sumayyah binti Khabat, ibu dari Ammar bin Yasir, salah seorang pemeluk Islam di awal munculnya agama ini. Sumayyah adalah hamba sahaya milik Abu Huzaifah bin Mughirah. Beliau dikenal sebagai muslimah yang sabar dan rela berkorban demi keimanannya.
Suami Sumayyah bernama Yasir. Mereka bertemu di Makkah, ketika Yasir bersama Al-Harits dan Malik mencari saudaranya mereka yang hilang. Karena tak jua bertemu, Yasir memutuskan untuk menetap di Mekkah, sedangkan kedua saudaranya yang lain memilih pulang. Di Mekkah, Yasir mengikat perjanjian dengan Abu Huzaifah bin Mughirah yang kemudian menikahkannya dengan salah seorang budaknya, yaitu Sumayyah. Dari pernikahan tersebut lahirlah Ammar bin Yasir.
Suatu hari, Ammar pulang dengan langkah cepat. Setibanya di rumah, ia menceritakan pertemuannya dengan Rasulullah. Ammar menawarkan kepada kedua orangtuanya untuk mengikuti agama barunya. Hati Yasir dan Sumayyah yang suci bersih memudahkan mereka menerima firman Allah SWT. Dalam waktu singkat, hati mereka tergerak untuk masuk Islam.
Awalnya Sumayyah dan keluarga menjalankan perintah Allah dengan diam-diam. Mereka salat di rumah dan di gua-gua agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy. Meskipun demikian mereka akhirnya ketahuan juga telah memeluk Islam. Terlebih lagi, keluarga tersebut kemudian secara terang-terangan telah menyatakan diri masuk Islam dan tidak memungkirinya.
Perjalanan keluarga tersebut hampir mirip dengan perjalanan hidayahku. Setelah memutuskan masuk Islam, aku shalat dan beribadah secara sembunyi-sembunyi. Walaupun sebelumnya sudah meminta izin kepada orangtua, namun mereka tidak yakin akan keputusanku. Ketika akhirnya aku secara terang-terangan mengakui masuk Islam, perlahan keluarga mulai memaklumi walaupun awalnya sempat ada penolakan yang keras.
Seperti halnya aku yang mengalami penolakan, maka masuknya keluarga Yasir menjadi Islam menimbulkan kemarahan di kalangan kaum Quraisy. Keluarga Sumayyah yang hanya berasal dari budak menjadi incaran kaum Quraisy yang ingin mengembalikan mereka kepada ajaran nenek moyang. Maka, beramai-ramai kaum Quraisy mendatangi dan menyiksa mereka dengan keras. Salah satu di antara orang yang menyiksa mereka paling keras adalah Abu Jahal.
Walaupun mendapat siksaan yang bertubi-tubi, namun keluarga kecil itu tetap memegang Islam dalam dada mereka. Penderitaan itupun berbuah manis, saat Rasulullah SAW sendiri yang menyatakan pada mereka bahwa Sumayyah dan keluarganya akan memperoleh jaminan masuk syurga dari Allah.
Beliau menyatakan “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah syurga.”
Tak lama setelah mendengar kabar tersebut, kematian menjemput mereka. Mereka mati syahid dan Sumayyah adalah sosok wanita pertama yang menjadi syuhada dalam sejarah Islam. Keteguhan hati beliau dalam mempertahankan Islam yang disertai dengan berbagai cobaan berat sungguh sangat menginspirasiku.
Terjalnya Jalan Dakwah
Jalan hidayah yang kulalui tidaklah seberat perjuangan Sumayyah, namun sedikit banyak keteguhan hati beliau membuatku makin merasa dikuatkan dengan meneladani kisah hidup beliau.
Setelah masuk Islam, bukan berarti hidupku menjadi aman dan tenang. Justru kerikil-kerikil banyak bertaburan di sepanjang jalan. Bukankah Allah sendiri menyatakan bahwa bagaimana bisa kita menyatakan diri beriman bila tidak diuji? Rintangan-rintangan mulai dari sikap keluarga yang awalnya menolak keislamanku, PHK dari tempatku bekerja, hingga sulitnya aku mencari tempat kerja yang baru. Itulah awal hijrahku masuk Islam, hingga 7 bulan kemudian Allah memberiku seorang imam untuk menemani menyusuri hidayah ini bersama-sama.
Dari suami, aku mendapat bimbingan pertama mengenal Islam, utamanya berbagai ibadah yang harus dijalankan. Suamiku mengajarkan banyak hal, mulai dari ketauhidan, thaharah, salat, halal haram, hingga membaca Al-Qur’an. Dengan keterbatasan ilmu agama yang dimiliki, suamiku terus berusaha mendampingiku belajar agama dengan banyak membelikan buku atau mengajakku datang ke kajian-kajian.
Pernikahan kami juga tak semulus sebuah cerita dongeng, banyak mengalami pasang surut layaknya keluarga yang lain. Masalah dan rintangan dalam rumah tangga adalah keniscayaan, maka kami pun selalu berusaha untuk berbaik sangka pada ketetapan Allah. Kami yakin, semua masalah yang hadir dalam hidup kami pasti sudah diukur sesuai dengan kesanggupan umat-Nya.
Kami juga yakin bahwa di setiap kesulitan yang muncul pasti Allah sudah siapkan kemudahan-kemudahan sebagai jalan keluar, seperti yang termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 286 dan surat Al-Insyirah.
Suamiku banyak mengajarkan arti sabar dan syukur, dua buah rasa yang dulu takpernah kumiliki karena aku tak mengenal itu dulu. Perlahan seiring dengan berjalannya waktu aku mulai belajar arti sabar dan syukur dan mempraktekkannya. Keterpurukan ekonomi, kesulitan saat mendapatkan buah hati, sakit yang menyerangku selama bertahun-tahun, disusul juga suamiku yang sakit bertahun-tahun, serta kehilangan suami untuk selamanya adalah kerikil yang harus aku lewati.
Bahkan di tahun yang sama, dalam hitungan 5 bulan, aku kehilangan ibu, bapak dan adik laki-lakiku. Satu persatu mereka pergi, meninggalkan kesedihan yang cukup mendalam bagiku. Butuh waktu untuk bangkit kembali, namun Alhamdulillah Allah selalu menguatkan aku, karena aku tahu ada kebaikan di setiap musibah yang datang. Ada ganti yang lebih baik dari sebuah kehilangan.
Belajar dari keteguhan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan hidup, semangat Sumayyah membuatku terlecut. Aku terus berusaha memegang keislaman dalam dada dan hidupku, walaupun terus terang tak mudah di tengah keluargaku yang mayoritas non muslim. Karena itulah aku selalu berdoa dan memohon kepada Allah untuk tetap meneguhkan hatiku dan anak-anak keturunanku agar senantiasa dalam diin Islam.
Yaa muqolibbalqulub, tsabit qolbi ‘alaa diniik. Ya Allah Yang Maha membolak-balik hati, teguhkanlah diriku dan keturunanku di atas agama-Mu yang lurus ini. Aamiin.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, suamiku pun telah berpesan agar aku dan anak-anak tetap berpegang teguh di jalan Islam. Aku tergiang pada pesan beliau, ”Seandainya ayah berpulang lebih dulu, jangan sampai kalian meninggalkan Islam. Pegang teguh, ya.”
Karena itulah, Insya Allah aku akan berusaha sekeras dan sekuat mungkin untuk mempertahankan diin ini dalam keluarga kecilku. Allah telah mencontohkan melalui perjuangan para shahabiyah yang mulia, salah satunya adalah Sumayyah binti Khabat. Aku memohon kepada Allah untuk memudahkan segala urusan kami. Allahumma yasir walaa tu’assiir. Semoga kelak di akhir hidupku, aku bisa husnul khotimah dan merasakan syurga seperti janji Allah kepada Sumayyah. Aamiin.*/Lusia Eksi, PD Mushida Denpasar, Bali