Training Aqidah dan Marhalah Ula Annisa Hidayatullah Sumut

31 Desember 2013

Oleh : admin

mushida

HIDORID — Ratusan anggota Annisa Hidayatullah, organisasi pelajar remaja putri yang berada di bawah koordinasi Muslimat Hidayatullah, mengikuti kegiatan bertajuk “Training Aqidah dan Marhalah Ula”, yang diselenggarakan di Komplek Hijau Pondok Pesantren Hidayatullah Medan, Sumatera Utara,  17-18 Desemer 2013 lalu.

Kegiatan yang berlangsung semarak dengan menghadirkan pembicara kondang ini mengangkat tema “Be Good Muslimah Forever and Everywhere”. Materi Training ini berkisar tentang Fiqih Pergiliran Zaman, Ma’rifatullah, Ma’rifatul Insan, dan Ma’rifatul Alam.

Penyajian materi menggunakan multiMedia serta diselingi degan game islami educatif rekreatif. Acara ini diikuti oleh 200 orang peserta dari utusan Annisa Hidayatullah Se-Sumatera Utara. Acara ini kemudian ditutup dengan kegiatan OutBond
serta Muhasabah.

Dalam sambutannya Ketua Pimpinan Wilayah Muslimat Hidayatullah Sumatera Utara (PW Mushida Sumut), Dra. Sri Rifiana, mengatakan setiap wanita Muslim memiliki peran dan tanggungjawab yang sama dalam mengemban amanah dakwah Islam kapan dan di mana pun berada. Mengutip hadits Rasulullah diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim, dijelaskannya bahwa masing-masing kita adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.

Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang istri pemimpin di rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya.

“Rasulullah telah menetapkan tanggung jawab terhadap laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam kapasitas sebagai pemimpin yang berbeda di dalam sebuah keluarga. Suami sebagai pemimpin bertugas mengendalikan arah rumah tangga serta menjamin kebutuhan hidup sehari-hari (seperti makanan, minuman dan pakaian) serta bertanggung jawab penuh atas berjalannya seluruh fungsi-fungsi keluarga. Suami pula yang bertugas sebagai benteng dalam kehidupan bermasyarakat,” jelas Sri Rifiana.

Ia melanjutkan, adapun istri berperan sebagai pelaksana teknis tersedianya kebutuhan hidup keluarga serta penanggung jawab harian atas terselenggaranya segala sesuatu yang memungkinkan fungsi-fungsi keluarga tersebut dapat dicapai.

Berjalan-tidaknya fungsi-fungsi keluarga secara adil dan memadai merupakan indikasi tercapai-tidaknya keharmonisan dalam keluarga, jelas beliau.

Namun, tambah dia, ibarat mengayuh perahu, keduanya harus saling kompak dan bekerjasama agar biduk rumah tangga tidak terbalik. Fungsi-fungsi keluarga yang dimaksud adalah fungsi reproduksi (berketurunan), proteksi (perlindungan), ekonomi, sosial, edukasi (pendidikan), afektif (kehangatan dan kasih sayang), rekreasi, dan fungsi religi (keagamaan).

Rifiana mengutarakan, tugas utama serang istri secara umum ada dua: (1) sebagai Ibu, yang berkaitan langsung dengan pemenuhan fungsi reproduksi serta fungsi edukasi; (2) sebagai pengatur rumah tangga, yang berkaitan dengan pemenuhan fungsi-fungsi keluarga yang lainnya.

Kegiatan training dan marhalah tersebut meneluarkan kesimpulan kepada peserta bahwa sepanjang sejarah peradaban manusia, peran seorang ibu sangat besar dalam mewarnai dan membentuk dinamika zaman. Lahirya generasi-generasi bangsa yang unggul, kreatif, penuh inisiatif, bermoral tinggi, bervisi kemanusiaan, beretos kerja andal, dan berwawasan luas, tidak luput dari sentuhan peran seorang ibu.

Ibulah orang yang pertama kali memperkenalkan, mensosialisasikan, menanamkan, dan mengakarkan nilai-nilai agama, budaya, moral, kemanusiaan, pengetahuan, dan keterampilan dasar, serta nilai-nilai luhur lainnya kepada seorang anak.

Dengan kata lain, peran ibu sebagai pencerah peradaban, ”pusat” pembentukan nilai, atau “patokan” penafsiran makna kehidupan, tak seorang pun menyangsikannya. Namun, seiring gerak roda peradaban, peran ibu sebagai pencerah peradaban bakal menemui tantangan yang semakin berat.

Setidaknya ada dua tantangan mendasar yang harus dihadapi oleh seorang ibu di tengah dinamika peradaban global. Pertama, tantangan internal dalam lingkungan keluarga yang harus tetap menjadi sosok feminin yang lembut, penuh perhatian dan kasih sayang, serta sarat sentuhan cinta yang tulus kepada suami dan anak-anak. Kedua, tantangan eksternal di luar kehidupan rumah tangga seiring tuntutan zaman yang semakin terbuka terhadap masuknya nilai-nilai global yang menuntut dirinya untuk bersikap maskulin.

Dalam menyikapi dan menyiasati dua tantangan mendasar itu, Mushida Sumut menyerukan setiap ibu dan wanita dituntut untuk semakin memaksimalkan perannya, memberdayakan potensi dirinya sehingga mampu tampil feminin dan maskulin sekaligus dalam menerjemahkan dan menginternalisasi selera zaman yang mustahil dihindarinya sebagai seorang ibu yang hidup pada era globalisasi.

Ini artinya, fitrah seorang ibu tidak hanya “dicairkan” dalam lingkup domestik, tetapi juga harus ditebarkan pada ranah publik, seiring dengan semakin kompleks dan rumitnya masalah-masalah yang harus diatasi.

Peran ibu dalam mengokohkan ketahanan keluarga adalah tugas yang berat, namun karena Allah menciptakan perempuan sebagai ibu untuk memelihara kehidupan, ketahanan untuk memelihara kehidupan sudah built in dalam diri ibu. Hanya, apakah para ibu menyadari potensinya atau tidak.

Tatkala ibu bisa memerankan tugasnya dengan baik, sehingga terbina keluarga yang berkualitas secara utuh dan menyeluruh, Allah telah menjanjikan imbalan-Nya. Dalam mengokohkan ketahanan keluarga, berangkat dari keikhlasan, kesabaran dan keluasan ilmu, ibu harus siap memberikan keteladanan, membimbing, memotivasi, mensupport terhadap kebaikan dan bersama-sama memecahkan masalah keluarga dengan upaya dan doa, demikian rekomendasi Mushida Sumut untuk Annisa Hidayatullah. (hm/hio/ybh)