Tantangan luar biasa yang dihadapi oleh muslimah di Negara Malaysia, Indonesia, Singapura dan Brunei Darussalam yang menjadi peserta Perwanis yang digelar untuk pertama kalinya di tahun 2016 ini, diperbincangkan sepanjang persidangan, dan memberikan hasil beberapa poin solusi yang bias dilaksanakan oleh para tokoh muslimah jika telah kembali ke negara masing-masing nanti.
Salah satu upaya yang ditawarkan adalah penggalakan melaksanakan Usrah, sebuah bentuk pembinaan bagi kalangan muslimah.
Jawatankuasa Pembangunan Pelajar Pusat I-Guru Malaysia, Ustadzah Norakhilah Baharin, menyampaikan dalam presentasinya, “Yang diperbuat Rasulullah bermula dari rumah Al Arqam bin Arqam, bagaimana kesungguhan para sahabat,hingga mereka rela mendatangi Rasulullah di tengah malam dengan merangkak-rangkak karena setan menyerupai anjing yang menyalak membangunkan orang Quraisy. Inilah salah satu sunnah, dimana perlunya kita bertemu dengan sahabat-sahabat dan naqib serta naqibah untuk berbincang dan menyelesaikan masalah ummat”.
“Gerakan ikhwan di tahun 1920-an memberikan kepada seluruh tenaga muslimahnya pendidikan tentang anak-anak. Mereka tidak focus pada yang lain, hanya focus pada pendidikan anak. Mereka membuat masjid-masjid seperti yang telah diperbuat Hidayatullah , yang telah mengikuti langkah sahabat dan salafus shaleh.”
“Usrah adalah perjumpaan memahami Islam secara syumul, dan menukarkannya kea rah tindakan dan tingkah laku dan seterusnya mengajak wanita lain berkongsi kepahaman dan amalan yang selaras dengan ajaran Islam.”
Faktor pertama yang harus ditumbuhkan di dalam usrah adalah Ta’aruf, atau perkenalan, yang tumbuh dari rasa kasih saying di antara kita. Dari perkenalan ini akan melahirkan hubungan yang amat kuat.
Kisah Abdurrahman menjadi teladan persaudaraan dalam Islam ini, bagaimana ketika hijrah ia harus meninggalan seuruh harta kekayaannya yang berlimpah, dan setiba di Madinah ditawarkan oleh saudara Ansharnya untuk mengambil harta, kebun mana pun yang ia mau, namun Abdurrahman menolaknya, ia hanya meminta pinjaman uang secukupnya untuk modal berniaga.
Kisah berikutnya ketika umat muslim kekurangan air, Abdurrahman pun membeli sumber mata air, sehingga ia dapat berbagi dengan orang Yahudi pemilik sumber air itu.
Tiga hari dalam seminggu Abdurrahman diberi kesempatan menggunakan sumur air itu, dan dipergunakannya untuk mencukupi kebutuhan air seluruh umat muslim, sekaligus menyimpan air banyak-banyak di rumah mereka yang mencukupi bagi kebutuhan mereka tiga hari berikutnya.
Sehingga di saat giliran orang Yahudi menjual airnya, umat muslim bersepakat memboikot tidak membeli air karena telah memiliki persediaan. Hingga akhirnya si pemilik Yahudi itu pun terpaksa menjual semua sumber airnya kepada Abdurrahman bin Auf.
Itu pula yang menjadi contoh At Takaful, yaitu saling tolong menolong, factor kedua dalam sebuah usrah. Berikutnya, factor ketiga adalah Tafahum, atau saling memahami.
Dalam sebuah hadis disebutkan, “Apabila amar ma’ruf nahi munkar tak dilaksanakan di kalagan umat Islam, pastinya doa-doa kita tidak dimaqbulkan oleh Allah SWT.”
Sebab itu, kata beliau, jika ada majelis-majelis, bawalah anak-anak kecil selalu kedalam majelis tersebut, karena anak-anak kecil ini tidak ada dosa, sehingga ketika mereka berkata ‘Amiin, amin’ walaupun sambil bermain-main, boleh jadi itu menjadi penyebab Allah kabulkan doa-doa kita.
Konsep usrah wanita adalah mengembalikan peranan dan hak asasi wanita sebagai penggerak dan pembantu laki-laki sebagai menjamin kelangsungan zurriyat keturunan sebagai khalifah di atas muka bumi ini. Itu sebabnya kegiatan usrah ini perlu dilanggengkan di antara kaum muslimah. (Irawati Istadi)