Oleh Sarah Zakiyah*
TERSEBUTLAH seorang wanita yang telah menghibahkan dirinya untuk beribadah kepada Allah SWT, menjauh dari manusia, menyendiri dalam mihrab, melepaskan diri dari hiruk-pikuk hawa nafsu dan gemerlap dunia.
Tiba-tiba datang seorang lelaki tampan, sempurna, penuh pesona. Saat kesempatan untuk berbuat laknat tidak berpenghalang, justru wanita itu bergeming dalam katakutan.
Tidak seorangpun dapat menolongnya dari godaan laki-laki rupawan itu jika ia bermaksud buruk. Wanita itupun hanya ingat pada satu sandaran, Tuhannya yang Maha Rahman.
“Dia berkata, aku berlindung kepada Ar-Rahman darimu, jika kamu bertakwa.” (QS Maryam:18)
Kiranya wanita itu bukan Maryam yang namanya disebut sebanyak 30 kali dalam Al-quran, adakah ketakutan dan rasa malu masih dimilikinya saat keadaan yang sama terjadi? Zaman yang kita berada di dalamnya saat ini, adalah zaman di mana perempuan berebut perhatian dari laki-laki.
Ketika jumlah wanita jauh melampaui jumlah laki-laki, mereka tak lagi canggung mempertontonkan diri, menyingkap aurat, dan membuang rasa malu yang seharusnya mereka jadikan selendang kebesaran.
Lihatlah pusat-pusat perbelanjaan, taman-taman kota, jalan-jalan umum, dipenuhi anak-anak muda usia, dipenuhi perempuan-perempuan yang berdandan dan bersiram minyak wangi agar diperhatikan oleh laki-laki. Tak peduli baik/buruknya perangai dan tujuan laki-laki itu.
Karenanya, bukan menjadi sesuatu yang aneh jika pernikahan dilangsungkan secara instan dan bayi-bayi dilahirkan hanya dalam jarak sebulan dua bulan dari waktu pernikahan. Hancur tatanan sosial karena buruknya akhlak dan proses sakral yang tak lagi dijunjung.
Ustadz Abdus Shomad dalam satu ceramahnya mengatakan, -yang intinya- ini adalah zaman yang tidak menghargai proses. Pun dalam pernikahan yang merupakan ikatan suci antar dua anak manusia.
Beliau menyebutkan bahwa dalam adat melayu sebelum sebuah pesta pernikahan dilangsungkan, ada yang namanya merisik, yaitu menyelidiki keluarga perempuan, layak atau tidaknya keluarga tersebut mengikat tali kekeluargaan.
Jika lolos pada tahap tersebut, maka tahap merasi dilanjutkan, yaitu tahap menimbang cocok dan tidaknya wanita itu jadi pendamping hidup, baru kemudian meminang. Tidak seperti sekarang, ungkap beliau. Tiba-tiba nikah dan memiliki anak.
Nah, jika gambaran keadaan zaman ini demikian, masihkah kisah wanita suci Maryam binti Imran cocok dan layak diceritakan kembali? Apa yang dapat diambil dari kisah satu-satunya wanita yang namanya disebutkan dalam kitab suci Al-quran?
Saat penyebutan nama wanita merdeka dan terhormat tidak lazim dilakukan dan wanita mulia tidak ditampakkan pada khalayak, Alquran diturunkan, nabi terakhir diutus dari kalangan mereka. Karenanya, wanita-wanita yang disebutkan dalam Al-quran selain Maryam, hanya disandarkan pada suami-suami mereka. Semisal, imroah Aziz, imroah Fir’aun, imroah Nuh, dan imroah Luth.
Maka ketika nama seorang wanita, Maryam, disebutkan sebanyak 30 kali dan ada satu surat dalam Al-quran yang bernama surah maryam, pasti ada tujuan dan maksud yang tersimpan padanya.
Adalah imam Al-Qurthubi dalam tafsir QS. Annisa ayat 171, mengatakan:
“Allah tidak menyebutkan nama seorangpun wanita dalam kitab-Nya selain Maryam binti Imran. Allah menyebutkan namanya sekitar 30 kali kesempatan karena mengandung hikmah sebagaimana yang disebutkan para masyayikh, bahwa para raja dan orang terpandang tidak pernah menyebutkan nama istri mereka di depan rakyat, tidak pula mempopulerkan nama mereka. Ketika kaum nasrani mengatakan bahwa Maryam istri Tuhan dan Isa anak Tuhan, Allah menampakkan namanya, agar jelas bahwa dia adalah hanya hamba Allah, sebagaimana budak sahaya tidak disembunyikan oleh tuannya.”
Apapun hikmah di balik penyebutan namanya, Maryam adalah wanita yang menyempurnakan keimanannya dengan ilmu dan amal. Setidaknya seperti itu yang disampaikan Imam As-sa’di dalam menjelaskan QS. At-tahrim ayat 12.
Karenanya, ungkap beliau, Allah SWT memasukkannya dalam golongan orang-orang yang tunduk dan taat, konsisten dalam dalam ketaatannya, meliputi dirinya dengan rasa takut dan kekhusyuan, sifat sempurna buah dari keimanan.
Allah SWT menjadikannya contoh bagi orang-orang yang beriman karena kesempurnaan ibadah, kesucian, dan iffah/penjagaannya terhadap kehormatan dirinya.
Sifat-sifat mulia yang dicontohkan oleh Maryam binti Imran, adalah sepatutnya sifat dan perangai yang harus dimiliki oleh wanita muslimah yang benar-benar berpegang teguh pada keimanannya pada Allah SWT dan hari akhir. Sifat-sifat yang semakin memudar warnanya di zaman ini.
Kemuliaan diri yang dicontohkan oleh Maryam, kisah kehormatan diri yang ia jaga, pun penerimaannya terhadap takdir Allah SWT atas dirinya, adalah kisah yang selalu relevan untuk semua zaman. Kisah yang harus terus diulang dan diceritakan pada setiap generasi muslimah agar ia menjadi teladan.
Maka, tidak berlebihan ketika Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadits riwayat Al-hakim dari Anas bin Malik, “Cukuplah bagimu empat perempuan terbaik sejagad raya, Maryam binti Imran, Asiyah istri Fir’aun, Khodijah binti Khuwailid, dan Fatimah binti Muhammad.” Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.
*) Sarah Zakiyah, penulis adalah Ketua Bidang Organisasi dan Annisa Pengurus Pusat Muslimat Hidayatullah dan Kepala Sekolah Ma’had Al Qur’an SMP Hidayatullah Putri Kota Depok. Artikel ini telah diterbitkan di Majalah Mulia, edisi Oktober 2019.