Nyaris Ketinggalan Pesawat dan Hikmah Bianglala Kehidupan

24 Februari 2020

Oleh : admin

mushida
Oleh Sarah Zakiyah*
WAKTU menunjukkan pukul 17.08 WITA, Sabtu (25/2/2020) ketika kami meninggalkan Kampus Hidayatullah Makassar. Tuan rumah yang mengantar bertanya kepadaku, “sudah pernah ke pantai Losari?”.  Aku jawab, “sudah, tapi gak tau kalo Bu Iryani.”
Setelah memastikan jadwal penerbangan setelah pemberitahuan delay 40 menit, dengan percaya diri tuan rumah mengisi e-toll di sebuah toko ritel. “InsyaAllah lewat tol kita sampai bandara paling lambat pukul 19.00.”
Sejak memasuki jalan tol, aku melihat arus di sebelah jalan yang kami lalui, macet tak bergerak. Tapi mobil yang membawa kami terus melaju. Sekitar pukul 17.50 mobil diparkirkan di area pantai Losari. Kami pun berfoto-foto sebentar. 
Pukul 18 lebih sedikit, aku sudah gelisah membayangkan mobil yang tidak bergerak di jalan ke arah balik. Tuan rumah masih menawarkan untuk mengunjungi Masjid 99 Menara. Aku gak mau.
Mobilpun melunjur mulus di jalan tol diselai canda anak-anak. Sekitar 9 km perjalanan ke bandara tersisa, mobil tidak bergerak.
Sekira 15 menit sebelum pukul 19.00, tuan rumah memutuskan turun dari mobil. Mobil dialihkan ke Ustadz Muhaimin. Tuan rumah yang terlihat super tenang itu (terlihat saja, karena ketika suara pemandu wanita di HP mengatakan tentang perkiraan waktu tempuh, beliau meniadakan suara), meminta KTP kami dan berlari di bawah rintik-rintik hujan, mencari ojek menyeberang ke jalan non-tol menuju bandara.
Sekitar pukul 19.19 kami masih mencari celah di jalan raya yang macet tak bergerak. Di saat itu pula kabar dari tuan rumah kami terima, bahwa check in telah berhasil.
Alhamdulillah, hanya hamdalah yang terucap, walau dadaku terasa sesak. Tidak mungkin dalam waktu 20 menit menempuh kemacetan yang belum separuh kami tempuh.
Tetiba hape Ustadz Muhaimin berdering. Karena hape istri pak Suwito kehabisan energi. “Coba lobi lagi untuk ditunda keberangkatan, karena sepertinya banyak yang terperangkap di jalan ini. Banyak yang turun di tengah jalan dan memilih berjalan kaki,” ujar Ustadz Muhaimin.
Masih 800 meter menuju bundaran yang menyempit dan membuat macet. Pak Wito menelepon lagi, bahwa ada delay tambahan selama 30 menit, berarti pesawat akan take off pukul 20.10 WITA.
Hufft… Aku menarik napas dan mengeluarkannya panjang, melegakan dadaku yang seakan terhimpit beban berat.
Bundaran berhasil dilewati. Sekitar 20 menit sebelum jadwal take off, kami sampai dengan Pak Wito yang telah sigap mengangkut barang-barang kami.
Berlari kami susuri lantai-lantai bandara, pak Wito dan Ust Muhaimin mengurus barang barang yang akan dimasukkan ke bagasi. Dan aku hanya menatap dengan kaki lemas dan dada yang masih sesak.
Ustadz Muhaimin memberikan 3 boarding pass kepada kami. Kami naik duluan dengan membawa barang yang lumayan banyak agar lebih cepat. Sesampai di mesin pemeriksaan barang, tas bu Iryani yang berisi durian olahan (demi teman-teman di Depok) ditahan. “Masih tercium baunya,” kata petugas. 
Akhirnya ustadz datang untuk mempertahankan dengan meminta izin me-wrapping makanan tersebut. Aku hanya berdiri menatap dari lantai dua.
Kami bertiga berlari dengan bawaan yang lumayan banyak. Sampai di pesawat, aku sudah ga kuat lagi membawa bawaanku, aku tendang-tendang tas biruku yang lumayan berat, dengan tatapan mengerikan dari para penumpang (perasaanku aja mungkin)
Alhamdulillah, laa haula walaa quwwata illaa billah. Ternyata, masih ada sedikit masalah berkenaan dengan kursi. Tempat yang terpisah antara Husain dan bu Iryani harus dimintakan kesediaan yang alot ke penumpang lain.
Saat kami duduk, bersama itu pula pengumuman bahwa pintu pesawat akan ditutup dan petugas darat diminta meninggalkan pesawat.
Aku duduk, merapatkan seat belt, mengusap peluh yang bertambah deras keluar karena AC pesawat belum maksimal dinyalakan.
Kutatap hapeku. Terbaca ada beberapa panggilan masuk. Aku tulis status WA dan mengabaikan tanya tentang kami di group whatsapp. Status itu cukuplah sudah menjawab tanya mereka.
Jazaakumullah khoiron ikhwati fillah di kota daeng. Terima kasih atas husnudhdhiyafah yang kami terima. Kebaikan kalian sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalasnya. Semua telah tercatat di lauh mahfudz tanpa setitikpun terlewat.
_____
*) SARAH ZAKIYAH, penulis adalah Kepala Bidang Organisasi dan Annisa Pegurus Pusat Muslimat Hidayatullah