Sambut Munas dengan Spirit Dakwah dari Bunda Nunung Nurhayati

25 Desember 2020

Oleh : admin

mushida


TULUS
dan tangguh, itulah kata yang terbetik ketika menyimak lika-liku perjuangan daiyah ini. Nunung Nurhayati adalah nama yang tidak asing lagi ketika perbincangan tentang kisah dramatis dakwah Hidayatullah diangkat. 

Beliau telah merajut simpul dakwah dari ujung barat sampai ujung timur negeri. Bukan hanya sibuk sebagai Ibu, Organisatoris, pendakwah dan pendidik, beliau juga aktif mengikuti berbagai kegiatan lain, hingga menjadi juara ke-4 Lomba Menulis Resep Tingkat Nasional 2011.

Memulai dakwahnya pada tahun 1989 di Sulawesi Utara, ibu dari lima anak ini telah berpindah ke Manokwari, Berau, Lhokseumawe, Medan, Banda Aceh, hingga Timika. 

“Ada yang mengatakan Ustadz Haris adalah petugas khusus daerah konflik,” ujarnya, mengingat julukan yang diberikan ke suaminya karena penugasan dakwah di daerah Aceh dan Papua saat konflik memuncak. 

Kondisi itu mengharuskannya banyak tiarap. Hingga pada kehamilannya yang terakhir, pendarahan hebat terjadi saat usia janin masih 8 bulan. Karena ramainya baku tembak sana-sini, tak ada mobil sipil maupun tentara yang bisa mengantarnya ke rumah sakit. 

Suami pun sedang mengisi daurah da’i se-Sumatera, hingga anak laki-lakinya yang berumur 4 tahun harus menguatkan diri untuk mendampingi. Menunggu dari jam 1 malam, akhirnya ia berhasil dibawa ke rumah sakit pada jam 7 pagi. Sesampainya di sana, dokter mengabarkan bahwa janin sudah meninggal.  

Kadar hemoglobin sudah merosot, penglihatan kabur, badan lemah tak ada daya. Jangankan untuk mengeluarkan janin, ia bahkan ragu hidupnya masih bisa berlanjut. Darah yang ditunggu untuk transfusi tak kunjung datang hingga pukul 5 sore, ia pun hilang pengeliatan, nyaris hilang kesadaran. 

“Ya Allah jika memang saya masih bermanfaat untuk agamamu, panjangkan umur saya. Tapi jika memang sudah cukup amalanku untuk menghadapmu, mudahkanlah aku dalam menghadapmu,” begitu doanya saat itu.

Dengan sisa-sisa nafas akhirnya, ia menguras tenaga untuk bersalin. Dengan iringan takbir, bayi itu keluar. Bidan pendamping terheran-heran, karena itu tidak mungkin terjadi tanpa transfusi darah terlebih dahulu. 

Tantangan berupa ancaman pembakaran pondok yang mengharuskan santri mengungsi, pesantren diombrak-ambrik, hingga menyaksikan kolega menjadi sasaran peluru telah menempa beliau dan keluarganya. 

Hal tersebut tidak menjadikan ia dan keluarganya menyudahi dakwah, malah membuat anaknya yakin melanjutkan warisan perjuangan ini. Anak-anaknya kini berpencar di Maluku, Timika, Aceh, Surabaya dan Balikpapan demi kepentingan dakwah. 

Tawaran untuk pindah tugas ke daerah yang lebih kondusif kerap berdatangan, namun keyakinannya kepada taqdir Allah dan kepeduliannya terhadap saudara yang tetap memerlukan cahaya Islam meski di daerah konflik menguatkan pendiriannya. 

Dengan mantap ia dan keluarga bertahan, menjadikan suara ledakan dan tembakan sebagai saksi di jalan dakwahnya. 

“Kita digadai untuk perjuangan dengan nilai surga” ucap kontributor buku “Senandung Mahligai Mubarakah” tersebut, mengenang motivasi terdalamnya yang terinspirasi dari Surah As-Saff ayat 10-11. 

Ia juga mengaku bahwa suaminya tidak hanya mendukung peran dakwahnya, tapi juga menjadi penyulut semangat utama untuk tetap berada di jalan dakwah.

Anggota Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan ini berharap agar dakwah Hidayatullah terus berpegang erat pada motto “Beribadah keras, bekerja keras, berdoa keras, syariat kuat.” 

Ia juga menyampaikan salam hangat untuk seluruh peserta Musyawarah Nasional V Muslimat Hidayatullah, di Depok dan di seluruh penjuru Indonesia. Perhelatan akbar ini akan digelar besok, 26-27 Desember 2020 dengan mengusung tema “Meneguhkan Integritas Muslimah Demi Tegaknya Peradaban Islam”.*/Fadhilah AAA