Ahad, 11 Juli 2021
Jam menunjukkan pukul 04.49. Meskipun sedang berhalangan, karena telah terbiasa bangun subuh, maka jam segini aku telah terjaga. Kuraih handphone, mengecek notifikasi whatsapp masuk. Kubuka salah satu grup. Whatsapp pertama yang terbuka membuat jantungku berdegup kencang, karena diawali dengan kalimat istirja’.
Belum sempat terbaca isi whatsappnya secara utuh, tapi hatiku sudah berdetak tak karuan. Pikiranku sontak tertuju pada satu nama, sosok yang sangat dekat dengan kami, yang selama beberapa hari sebelumnya tengah diuji sakit. “Semoga bukan dia… semoga bukan dia…,” batinku rusuh.
Kulanjutkan membaca Whatsapp. Seperti mimpi buruk menjadi nyata, saat mataku menangkap huruf demi huruf yang terangkai menjadi satu nama yang sangat kukenal… Nama yang selama bertahun tahun begitu dekat di hati, begitu lekat dengan keseharian kami. “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Telah berpulang ke rahmatullah, Leny Syahnidar, pada Sabtu 23.33 WIB. Mohon dimaafkan kesalahannya selama hidup dan dalam kebersamaan selama ini. Wibowo Hadiwardoyo (Suami).” Begitu bunyi utuh whatsapp yang sangat mengguncang hati itu.
Dan cerita selanjutnya adalah kesedihan tiada tara, kekalutan luar biasa, air mata yang tak berhenti mengalir dari pelupuk mata, duka yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ketika sahabat seperjuanganku di PP Mushida menelpon tak sampai semenit kemudian, buncah segala yang menyesak di dada. Tak tertahankan. Tak banyak kata terucap, kami hanya sanggup bertukar tangis dan air mata.
Leny Syahnidar, Sosok Istimewa Itu…
Aku ingat sekali momen itu, tanggal 9 Januari 2016, saat SK pengangkatannya sebagai Sekretaris Jenderal PP Muslimat Hidayatullah dibacakan oleh Kabid Organisasi DPP Hidayatullah saat itu, Ust. Chairul Baits. Di saat yang sama, namaku juga turut disebutkan dalam SK, mendapat amanah sebagai Kepala Kantor PP Muslimat Hidayatullah, yang secara hierarki struktural berada di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal.
Sejak hari itulah, relasi kami bermula. Berawal dari relasi sebagai atasan bawahan, yang di kemudian hari semakin berkembang, tak lagi sebatas atasan bawahan, tak lagi sebatas hubungan pekerjaan. Terkadang kami seperti kakak adik, di lain waktu ia tak ubahnya ibu dan anak, tetapi di sebagian besar kebersamaan, ia merefleksikan diri sebagai sosok sahabat yang sangat egaliter, tak pernah memandang perbedaan usia di antara kami yang begitu jauh. Kurang lebih 20 tahun jarak yang merentang di antara kami. Bersamanya yang memiliki pembawaan yang santai, humoris, luwes, supel dan ramah, perbedaan usia yang begitu jauh tak pernah menjadi sekat.
Ah, ia memang sosok yang istimewa. Sangat istimewa. Sebagai Kepala Kantor yang berada langsung di bawah koordinasi Sekretaris Jenderal, tentu saja aku harus sering mendapat “orderan” pekerjaan dari Bu Leny. Dan di sinilah salah satu keistimewaan Bu Leny. Dengan kemampuan berkomunikasinya yang sangat baik, aku tak pernah merasa sedang “disuruh” oleh Bu Leny. Aku mengerjakan apa saja yang diminta Bu Leny dengan sukarela dan sukacita, tak pernah terbersit sedikit pun rasa terbebani.
“Lasay… Lagi repot gak?” demikian biasanya ia mengawali permintaan tolongnya. Selalu memastikan terlebih dahulu jika aku sedang tidak repot. Lasay, panggilan akrabnya kepadaku. Singkatan dari Ola Sayang…
“Afwan ya… Selalu merepotkanmu…” ini juga kalimat yang sangat khas darinya, tak pernah absen setiap kali ia memintaku melakukan suatu pekerjaan. Padahal yang kulakukan adalah bagian dari tugasku, dan aku mendapat kompensasi untuk itu. Tak seharusnya ia meminta maaf padaku. Tapi begitulah Bu Leny, sosok yang selalu merasa tidak enak jika harus merepotkan orang lain, hatta itu adalah bawahannya sendiri, yang seharusnya mudah saja ia suruh melakukan ini itu.
Selain royal mengumbar permintaan maaf, Bu Leny juga tipe orang yang tak pelit memberikan apresiasi atas pekerjaan orang lain. Ucapan terima kasih, apresiasi positif dan doa-doa selalu tak lupa ia berikan, ketika aku selesai menyelesaikan satu tugas atau pekerjaan yang diamanahkan padaku.
“Jazaakumullahu khayran katsiro… Afwan jiddan ya Dik Ola Chayank.. Aku sering merepotkanmu.. Dikau banyak potensi.. Teruslah beramal shaleh lewat lembaga ini,” tuturnya di pesan whatsapp suatu ketika, selepas aku mengirimkan proposal yang ia minta editkan.
“Bu Len, ini gimana baiknya..?”
“Bu Len, kalimatnya sudah tepat belum?”
“Bu Len, kira-kira siapa saja yang sebaiknya diundang?”
“Bu Len, ini kok begitu ya…, kan seharusnya begini?”
Tentang kemurahan hatinya, sungguh aku menjadi saksinya. Betapa ia tak pernah hitung-hitungan dalam memberi, ketika ada saudara yang sedang sakit atau tertimpa musibah. Suatu ketika, aku yang bertugas merekap saweran Pengurus Pusat untuk seorang saudara yang sedang diuji sakit covid, dibuat terbelalak melihat nominal yang dituliskan Bu Leny. Untuk memastikan, kutanyakanlah kepadanya lewat jalur pribadi whatsapp: “Bu Leny serius ini, jumlahnya segini?”
Hanya sekali, seingatku, sosok Bu Leny alih-alih membawa keceriaan, malah justru menghadirkan kesedihan dan linangan air mata yang seolah tak mau berhenti.
“Beliau insya Allah seorang syahidah, sepanjang hidupnya selalu berjuang. Hari-harinya dihabiskan untuk berjuang dan mengurus ummat,” tutur Ustadz Syaikhu, seorang dai yang cukup dekat dengan keluarga beliau, sesaat sebelum pelaksanaan sholat jenazah di rumah duka.
Aku, yang engkau tinggalkan. Depok, 12 Juli 2021, pukul 10.38 WIB