Oleh: Dede Agustina
Kabar wafatnya begitu menghentakkan jiwa dan hati kami. Beberapa pengurus senior pusat mengatakan bahwa sebelum hari beliau wafat, beliau masih menjawab sapaan kami yang dikirim di grup WhatsApp.
Tak percaya atas info yang beredar, beberapa pengurus senior mengecek berita langsung kepada pihak keluarga. Namun kepergian sosok sahabat kami itu benar benar nyata.
Aku yang sudah terlebih dahulu mendapatkan berita tersebut dari suami berusaha menahan hujan air mata, namun akhirnya tumpah juga.
Si bungsu yang baru selesai melaksanakan sholat shubuh bertanya, “Umi, kenapa menangis?”
“Bu Leni meninggal, Dik.” jawabku pada si bungsu dengan terisak.
“Bu Leni yang baik itu ya, Mi?” balasnya balik bertanya. Namun tak ku jawab lagi, aku sudah sibuk dengan perasaanku sendiri.
Ahad, 1 Dzulhijjah 1442 H
Pagi itu, perjalanan rombongan kami dari Depok menuju rumahnya di Bekasi untuk takziyah dipenuhi duka mendalam.
Dalam perjalanan itu aku sempatkan memberi kabar putri sulungku yang juga kenal dengan sosok beliau.
Respon putri sulungku sama dengan putri bungsuku.
“Bu Leni yang mana, Mi? Bu Leni yang baik itu?”
Allah…
Allah…
Allah…
Beliau sosok yang humble kepada siapapun. Kepada yang tua maupun muda. Senior ataupun junior. Beliau cerdas berinteraksi dan membawa diri kepada siapapun yang mengenal dirinya atau yang baru dikenalnya. Pernah di suatu hari ketika aku ditugaskan keluar daerah mengemban amanah untuk beberapa hari, namun di hari yang sama ibuku dari Bangka akan datang menyambangi rumah kami.
Ku sampaikan rasa bingungku padanya, karena ibuku datang sendirian dari Bangka ke Bekasi, namun tidak ada yang bisa menjemput kedatangan ibuku di bandara, sementara suamiku pun sedang bertugas keluar kota, aku tidak tega membiarkan ibuku dari bandara ke Bekasi sendiri.
Saat itu aku dan Bu Leni sama sama berdomisili di Bekasi, rumah kami tidak terlalu berjauhan, hanya beda kelurahan saja. Sosok pengayom yang ringan tangan itu langsung menawarkan bantuan demi menjawab rasa bingungku, “Tenang saja, ibunya Bu Dede nanti saya yang jemput di bandara, dan saya antarkan langsung ke rumah anti, ya.”
Dan akhirnya beliau benar benar menjemput neneknya anak-anak di bandara dengan menaiki transportasi umum khusus bis bandara rute Bekasi – bandara.
Dalam perjalanan dari menjemput ibuku, beliau mengabarkan padaku yang sedang di luar daerah, “Alhamdulillah, ibu anti sudah aman Bu Dede.” Aku pun sempat ngobrol dengan ibuku ketika mereka dalam perjalanan pulang.
Sejak saat itu jika ibuku datang ke rumah kami, salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan adalah, “Bagaimana kabar temanmu yang baik itu? yang namanya Bu Leni.”
Begitulah…
Karakter pengayom, ringan tangan serta ramah kepada siapapun juga sudah terlanjur melekat dalam dirinya. Siapapun yang membutuhkan pertolongan akan beliau usahakan sepanjang beliau mampu menjalaninya.
“Hidup ini harus saling membantu, saling meringankan dengan ikhlas dengan niat cukup karena Allah saja.”
Inilah nasehat yang sering beliau sampaikan kepada kami. Tidak ada kesan untuk menggurui, karena beliau sangat piawai mengemas kata yang bijak di setiap interaksi dan komunikasi kami.
Beliau sosok cerdas dalam mengemas kata, mengemas rasa, mengemas cinta, mengemas jiwa, sehingga setiap narasi yang tersampaikan kepada kami memiliki nilai-nilai keluhuran akhlak dan Budi pekerti.
Lagi lagi…
Keberadaan beliau selama ini menciptakan ruang indah tersendiri untuk kami sebagai pengurus di organisasi yang telah lama berinteraksi dengannya.
Mengenangnya bukan berarti tak rela melepaskan kepergiannya. Kami ikhlas. Sungguh sangat ikhlas. Betapa tidak, bidadari yang kami kenal keluhuran budinya, keramahan sikapnya, kesigapan dalam membantu orang lain, cakap dan santun ketika berbicara telah pergi menghadap sang kuasa dengan senyum tersungging dibibirnya. Kami menjadi saksi atas kesholehan beliau selama tinggal di dunia.
Ruhnya boleh pergi menghadap sang ilahi. Namun keteladanan yang terpahat dalam hati kami merupakan modal utama dalam menapaki jalan dakwah ini. Walau mungkin akan tertatih, walau terseok, walau mungkin kerapuhan akan mungkin menghampiri. Tapi kami memilikinya dalam hati dan benak kami.
“Kebisuan jasadmu justru membuat kami merenungi, bahwa dunia ini memang tak mengenal istilah abadi. Amal sholehmu membumbung tinggi. Selamat menikmati jamuan bersama para shalihin di akhirat, sahabatku. Semoga Allah menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya.”