Menjemput Keajaiban Air Zamzam

17 November 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Menjemput Keajaiban Air Zamzam

“Jadilah Siti Hajar, yang percaya penuh pada Tuhannya meski harus ditinggalkan di tengah gurun pasir tandus. Sehingga usai berlarian tujuh kali antara bukit Shofa dan Marwa demi setetes air untuk anaknya Ismail, Allah karuniakan kepadanya keajaiban berupa air zamzam.”

Perkataan guru SMA dulu terngiang di telinga. Saya mengusap air mata di atas motor. Ini sudah enam kalinya bolak-balik dari rumah ke kota untuk pengurusan paspor. Bolak-balik antara kantor Kedutaan dan Kemenag. Saya tempuh jarak puluhan kilo di bawah panas matahari, tapi selalu ada saja kendala yang membuat terpaksa mundur lagi dan lagi.

Sudah terlalu jauh saya melangkah. Pendaftaran, tes seleksi, membuat dan menyebarkan proposal, lalu tinggal pembuatan paspor sebagai syarat terakhir pemberkasan. Masalahnya, sebentar lagi Idul Adha dan kantor pemerintahan akan tutup. Saya dikejar deadline tapi prosedur sedemikian rumit.  Menyadari waktu yang tak tersisa banyak sedang jalan buntu terbentang di hadapan, membuat air mata akhirnya berlinang. Pada momen itulah, pesan Ustadz Suhail (guru saat SMA di Ar-Rohmah Putri) mengetuk ingatan.

“Jadilah Siti Hajar,” ucap beliau kala itu. Lalu dengan sisa harapan, saya gumamkan doa. Ya Allah, saya berangkat untuk yang ke-tujuh kalinya. Sama seperti Siti Hajar, perkenankan saya bertemu dengan ajaibnya air zamzam.

Dan, doa itu terkabul.

***

Menjadi Siti Hajar memang kemustahilan. Terlampau jauh jarak zaman dengan kenabian yang mencipta jarak pula pada kualitas keimanan. Kita tidak akan sampai pada derajat perempuan-perempuan hebat yang kisahnya termaktub dalam Al-Qur’an, tapi kita bisa menjadikan mereka teladan. Mengusahakan tawakal Siti Hajar adalah mungkin. Mengusahakan sabarnya adalah mungkin. Pertanyaannya, tawakal seperti apa yang diusahakan Siti Hajar hingga berhadiahkan air zamzam?

Tawakal Siti Hajar adalah tawakal yang dipahami Rasulullah Saw. Mari sejenak kita ingat kisah seorang sahabat yang menyeret hewan gembalaannya menuju sebuah masjid di suatu kota. Ia tinggalkan gembalaan itu dengan sengaja di depan masjid, tanpa diikat. Ibarat zaman sekarang memarkirkan motor dengan meninggalkan kuncinya. Maka ditanyalah ia oleh Rasulullah Saw.,

“Mengapa tidak kau ikat dulu gembalaan itu?”

“Aku bertawakal pada Allah SAW. Kupasrahkan semua urusanku pada Dia. Insya Allah ia tidak akan pergi ke mana-mana,” jawabnya sambil melenggang santai hendak memasuki pelataran masjid. Beliau pun menghentikannya.

“Kembali. Ikat gembalaanmu dulu, baru tinggalkan untuk menunaikan salat.”

Masya Allah. Coba perhatikan bagaimana perintah mengikat gembalaan itu keluar dari seseorang yang tidak perlu diragukan lagi kualitas tawakalnya. Maka melalui kisah di atas kita dapat memahami bahwa hakikat tawakal bukan sekedar pasrah pada Allah SAW. tanpa mengambil sebab. Begitulah yang dilakukan Siti Hajar, ia memasrahkan urusan setelah berlari tujuh kali. Bukan sekedar duduk menunggu keajaiban tiba-tiba muncul sendiri.

Kisah ajaib seperti ini mungkin terjadi dalam hidup kita dengan bentuk berbeda. Saya pun pernah mengalami selama proses menuntut ilmu. Kadangkala bentuknya berupa kemudahan di tengah ujian. Ketika materi belum sepenuhnya terhafal setelah jungkir balik belajar, dan ajaibnya soal yang keluar hanya di bagian yang kita kuasai benar. Kadangkala bersifat finansial. Ketika butuh uang untuk suatu urusan lalu coba mengirim tulisan dan mendapat hadiah sebesar nominal yang dibutuhkan.

Kadang bentuknya berupa keringanan urusan. Saya pernah mengurus beasiswa di saat visa bermasalah dan terjemah akta yang merupakan persyaratan, hilang. Di antara ratusan pendaftar beasiswa dengan berkas lengkap dan nilai lebih bagus, milik saya mustahil diterima. Tapi lagi-lagi air zamzam itu tugas Allah. Tugas kita adalah berlari semaksimal mungkin antara bukit Shafa dan Marwa. Jadi saya tetap pergi dengan membawa fotocopy akta lahir dan KK yang  berbahasa Indonesia. Saya jelaskan semua alasan sejujur mungkin, dan beasiswa itu berhasil saya dapatkan. Alhamdulillah.

Bagi seorang muslim, tidak ada kata menyerah dan putus asa. Karena di saat segala urusan sudah mustahil secara nalar, kita punya Allah yang kekuasaan-Nya jauh di atas keterbatasan cara berpikir akal. Kita hanya perlu jujur pada suatu niat kebaikan dengan benar-benar memperjuangkan. Sisanya biar doa yang menyempurnakan kesungguhan. Insya Allah, Allah perkenankan air zamzam muncul dari arah tak terduga, di mana-mana, dengan segala macam bentuk dan wajahnya. Wallahua’lam.

*/Aidatuz Zakiyah
Juara 2 Lomba Menulis Kategori Mahasiswi, Keputrian Muslimat Hidayatullah