Naik turunnya iman menjadi sebuah keniscayaan. Iman dapat turun dengan maksiat, dan bertambah dengan adanya ketaatan. Menghadiri majelis ilmu merupakan sebuah ketaatan yang menambah keimanan.
Muslimah memiliki peran yang tak sedikit. Dalam menjalankan perannya, muslimah harus berada dalam koridor yang benar. Diharapkan, seorang muslimah menjadi tangguh dalam menjalankan berbagai peran dengan mengikuti manhaj sistematika wahyu dalam menapaki jalan dakwah.
Berlatar belakang hal itu, Majelis Penasihat Muslimat Hidayatullah menghadirkan acara talkshow dengan tema, “Muslimat Hidayatullah Tangguh Dengan Sistematika Wahyu.” Talkshow tersebut dilaksanakan secara virtual pada 13 November 2021/8 Rabiul Akhir 1443 H.
Talkshow ini menghadirkan Ketua dan angggota Majelis Penasihat Muslimat Hidayatullah, Dr. Sabriati Aziz dan Hj. Nani Zuraidah.
Dalam talkshow tersebut, Ibu Nani menuturkan bagaimana perjuangannya mengikuti barisan dakwah di Hidayatullah sejak awal menikah dengan Allahu yarham Ustadz Abdul Mannan, tahun 1979. Dikaruniai 9 putra putri, 5 di antaranya dilahirkan di Gunung Tembak. Kini, bersama 8 putra putri, 8 menantu, serta 23 cucu menetap di Depok, Jawa Barat. Dengan spirit perjuangan, beliau membersamai langkah Mushida di Majelis Penasihat.
Ibu Nani menceritakan bagaimana awal mula pertemuannya dengan sang suami. Beliau mengenal Allahu yarham Ustadz Abdul Mannan sejak sekolah di bangku Perguruan Guru Agama (PGA) di Surabaya. Allahu yarham dikenal sebagai orang yang suka menulis. Tulisannya kerap tampil di majalah dinding sekolah. Beliau kerap meminta Ibu Nani untuk membaca tulisannya di mading tersebut.
Beliau yang menjabat sebagai Sekretaris OSIS meminta Ibu Nani yang kala itu merupakan murid baru, untuk mengumpulkan empat foto.
“Saya bingung, kenapa saya disuruh mengumpulkan empat, padahal yang lain hanya mengumpulkan tiga foto,” ucapnya.
Meski mengaku bingung, Ibu Nani tetap menyerahkan empat foto tersebut. Diketahui kemudian hari, ternyata foto Ibu Nani dan foto Ustadz digabungkan menjadi satu lalu disimpan dalam sebuah amplop.
“Saya menceritakan hal itu kepada kakak saya. Kakak saya meminta untuk membuangnya, tapi saya tetap menyimpan foto itu,” kenangnya diiringi tawa.
Hingga suatu hari, Ustadz menyampaikan surat yang berisi niatnya ingin ke Balikpapan dan berharap Ibu Nani bisa ikut bersamanya.
Singkat cerita, Ustadz dan Ibu Nani akhirnya menikah. Setekah menikah, mereka pun hijrah dari Surabaya ke sebuah daerah terpencil di Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka hijrah ke Gunung Tembak dan melepaskan semua kehidupan dunia yang telah mapan.
Meski telah memakai kerudung sejak di bangku sekolah, Ibu Nani mengaku bahwa saat perjalanan itulah pertama kali ia memakai jilbab panjang dan tertutup. Tak disangka, jilbab panjang pertamanya itu merupakan pemberian dari suami tercinta.
Membangun rumah tangga dengan tinggal di rumah yang sangat sederhana, keluarga kecil itu hidup bahagia.
“Di rumah kecil itulah saya sering ditinggal sendiri oleh suami setiap jam dua untuk qiyamul lail sampai Subuh,” ungkap mujahidah yang dikaruniai 23 cucu ini.
Lika liku kehidupan, cerita mengharukan dan penuh perjuangan juga turut dirasakan pasangan suami istri tersebut.
Menurutnya, hal terberat ketika Ibu Nani ditinggal sang suami untuk melakukan tugas ke Mekkah selama beberapa waktu. Pada saat itu, ia sedang mengandung anak ke-5. Meski berat, namun beliau selalu yakin bahwa Allah membersamai orang-orang yang sabar. Suaminya pulang ke rumah ketika akan aqiqah. Anak tersebut diberi nama Abu Jihad.
“Yang menjadi sebuah kesyukuran bagi saya, karena anak-anak berada dalam bingkai perjuangan Hidayatullah,” jawabnya ketika ditanya tentang hal yang membuatnya bahagia.
Pesan Allahu yarham yang tak pernah dilupakannya agar istiqomah dalam qiyamul lail, tidak boleh renggang dan selalu menghormati tamu.
Pada kesempatan yang sama, Dr. Sabriati Aziz turut menyampaikan materi pada acara yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Mushida Official.
Allah berfirman,
“Dan untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang (minhaj)” Al-Maidah: 48)
Presidium BMIWI ini menyampaikan bahwa Sistematika Wahyu (SW) merupakan sebuah istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh Ustadz Abdullah Said rahimahullah. Wahyu yang dimaksudkan dalam istilah Sistematika Wahyu adalah ayat-ayat atau penggalan-penggalan surah yang terdapat dalam lima surah pertama yg turun berdasarkan Tarrtibun Nuzul, yaitu Al-Alaq, Al-Qalam, Al-Muzzammil, Al-Muddattsir dan Al-Fatihah.
Manhaj adalah jalan yang terang dan jelas, Imam At-Thabari berkata, kata minhaj kemudian digunakan untuk setiap sesuatu yang jelas, terang dan mudah.
“Peradaban Islam mengalami pasang surut sejak dimulainya masa kenabian, masa kekhalifahan, masa diktator, hingga kelak terjadi masa kembalinya khilafah,” terang Ketua Majelis Penasihat Muslimat Hidayatullah.
Tahapan dalam mewujudkan peraban Islam di antaranya ialah kesadaran bertauhid (Al-‘Alaq), memiliki visi ber-Quran (Al-Qolam), tranformasi intrapersonal (Al-Muzammil), tranformasi sosial (Al-Mudatsir), ber-Islam kaffah (Al-Fatihah).
“Kekuatan Al-‘Alaq membentuk seseorang memiliki pemahaman yang lebih kuat tentang konsep dan aplikasi syahadat. Semangat Al-Qolam menumbuhkan idealisme dalam berada di jalan yang benar,” tuturnya.
Sedangkan Al-Muzammil sebagai amunisi ruhani dan hijrah sebagai kekuatan dalam berjuang. Al-Mudatsir berdakwah dengan tidak mengharap imbalan. Adapun Al-Fatihah terinterpretasi dalam kampus sebagai wilayah teritorial peraga ajaran Islam secara optimal. */Arsyis Musyahadah