Perjalanan Meniti Keikhlasan

29 Desember 2021

Oleh : Admin Mushida

mushida
Perjalanan Meniti Keikhlasan

Namaku Hikmah. Sebenarnya salah satu keinginanku adalah bersekolah di sekolah negeri layaknya anak zaman sekarang, hanya saja kedua orang tuaku sangat berkeinginan agar aku sekolah di pesantren saja, itu artinya keinginanku dan keinginan kedua orang tuaku sangat bertolak belakang.

“Ummi, Hikmah sekolah di luar saja yah, kan waktu SMP udah mondok, capek kalau mondok lagi.” Kataku tiga tahun yang lalu, sebelum masuk SMA.

“Lebih baik Hikmah sekolah di luar angkasa, daripada sekolah di luar yang gak jelas ngapangapain setiap harinya. Nanti zaman akan kacau, Nak.”

Itulah dialogku dan Ummi ketika aku berusaha membujuk beliau agar mengizinkanku untuk bersekolah di sekolah negeri. Namun aku lebih sayang kepada kedua orang tuaku, rasa sayang dan cintakulah kepada Ummi dan Abi yang membuatku berani untuk meninggalkan segala yang tersayang di kampung halamanku yang indah. Tapi aku sangat berharap suatu hari nanti niatku untuk berhijrah karena orang tua akan berubah ketika aku sudah mengerti arti kehidupan, dan yah memang kehidupan adalah tentang bagaimana kita bertahan menjalani peran hidup kita masing – masing dan bagaimana kita menetukan pilihan.

Bagiku pertolongan Allah dalam bertholabul ‘ilmi yang sangat berarti bukan saja tentang materi, misalnya rupiah dan benda fana lainnya. Tapi bagiku pertolongan Allah yang sangat berharga adalah ketika Allah menguatkan dan memantapkan hatiku agar bisa ikhlas meninggalkan keluargaku yang rasanya separuh nyawaku ada pada mereka, terlebih lagi Abi yang waktu itu sedang diuji oleh Allah dengan penyakit, ah sangat sulit.

“Sudahlah, pergi tidak pergi, yang namanya ajal tidak bisa kita lari,” ujar Abi ketika itu sambil merangkul pundakku. Abi memberi motivasi agar keputusanku tidak setengah hati untuk pergi mondok. Ketika itu aku ditawarkan untuk melanjutkan sekolah di pulau Jawa. Pikiranku langsung traveling entah kemana. Kapan pertolongan bathiniyah menghampiriku?

***

Matahari dan bulan terus bergantian memainkan perannya, sementara tidak dengan keputusanku yang masih setengah hati, tidak berganti menjadi sepenuh hati, tapi persiapan yang aku lakukan rasanya sudah cukup, yah sangat banyak yang dikorbankan bukan hanya soal biaya, tapi korban perasaan, terlebih lagi kedua orang tuaku. Anak mana yang tega melihat pengorbanan orang tua semacam itu.

Tiba saatnya aku akan pergi meninggalkan Sulawesi tercinta, pun demikian dengan beberapa calon santri baru yang ikut rombongan. Di pagi hari yang cerah kala itu, banyak orang yang berdatangan. Ada yang akan mengantarkan anaknya dan ada yang sekadar datang untuk melihat keberangkatan kami. Di dalam kamar aku menyalami punggung tangan Ummi yang kelihatannya kulitnya sudah mulai mengerut, sambil menangis meminta maaf. Aku semakin sedih ketika Ummi meneteskan air mata. Rasa bersalah dan kenangan bersama, kembali muncul bergantian.

Setelah pamit kepada adik-adikku, sanak saudara dan keluarga, terakhir sebelum memasuki mobil aku melihat Abi berdiri memakai baju hijau acara Munas Hidayatullah, aku tidak tahu yang keberapa. Aku langsung menyalami tangannya dan memeluk tubuhnya yang sudah tidak tegap dan kekar lagi. Saat itu adalah tahun ketiga Abi diuji dengan penyakit yang berhasil membuat hatiku seperti disayat oleh belatih. Aneh rasanya berpelukan dengan Abi, rasanya sulit untuk melepas bagaikan itu adalah pelukan terakhir dan benar hari itu menjadi pelukan dan perpisahan terakhir dengan Abi.

Mobil melaju meninggalkan keramaian orang – orang yang masih berkumpul, semakin jauh hingga tak terlihat lagi, setelah sampai di pelabuhan Makassar dan sedang bersiap – siap untuk berangkat, pihak pelabuhan menyampaikan informasi bahwa keberangkatan kapal ditunda sampai besok, yang membuat kami harus memutuskan untuk mencari hotel atau penginapan terdekat dari pelabuhan dan Allah menakdirkan kami menginap di hotel Agus Tour & Travel. Sepertinya hotel berbintang. Aku pun dan yang lainnya istirahat melepas penat dan siap untuk menatap seperti apa curamnya hari esok.

Langit telah menyemburkan semburat sinar fajarnya, aku berada di hotel lantai tiga. Aku menatap ke bawah sambil memotret jalanan yang sudah mulai ramai oleh kendaraan beroda empat. Betapa sibuknya mereka, pagi sekali sudah harus bermacet – macet di jalan dengan tujuan hidup masing – masing.

“Hikmah, siap – siap, sudah mau check out, kata tanteku yang langsung kuangguki. Setelah siap aku dan tanteku turun ke loby hotel untuk melakukan check out dan langsung berjalan kaki menuju pelabuhan, sedangkan barang bawaan kami sudah sampai di pelabuhan. Setelah melakukan prosedur penumpang, saatnya untuk menaiki kapal. Sebelum naik kapal, sekali lagi mereka yang akan ikut mondok, berpamitan kepada orang tuanya masing – masing, aku berpamitan dengan kakak pertamaku Ahmad Ash Shiddiq namanya, yang kebetulan waktu itu juga mondok di Hidayatullah Makassar. Setelah selesai berpamitan, kami beranjak menuju kapal yang berukuran besar yang bernama PT. Pelni Dobonsolo. Entahlah, aku tidak pernah lupa dengan nama kapal yang mengawali perjalananku itu.

Setelah naik, saatnya kapal akan berlayar meninggalkan tempat bersandarnya. Perlahan kapal menjauh meninggalkan keindahan kota Daeng itu dan tanpa diundang air mataku kembali mengalir, “See you soon my island.” Ujarku pelan sambil menghapus air mata.

***

Dua hari satu malam aku menyaksikan indahnya ciptaan Allah di kapal, seperti sunrise dan sunset. Setiap kita melihatnya tak akan lisan ini berhenti memuji penciptaan-Nya. Singkat cerita, kapal pun tiba di pelabuhan Tanjung Priuk Jakarta di Ibukota.

Uwiss Jakarta menn,yang biasa di TV, yang banyak artisnya.”

Entah siapa yang mengatakan itu, yang jelas aku menahan tawa ketika mendengarnya. Setelah keluar dari area pelabuhan, kami menaiki bus Trans Jakarta, di perjalanan aku merasa sumpek melihat bangunan yang tinggi, kemacetan yang berkepanjangan, dan mirisnya banyak sekali pengangguran di jalanan yang mencari rezeki. Kebanyakan di antara mereka adalah anak kecil. Betapa suramnya kehidupan mereka, di bawah terik sinar matahari mereka harus menembus padatnya jalan ibukota. Aku harus bersyukur.

Setelah turun dari Trans Jakarta kami menaiki bus Arga Mas menuju terminal Bogor. Setelah sampai terminal Bogor, awalnya kami memesan Grab mobil, tapi akhirnya pamanku memutuskan untuk naik mobil ‘setan’ saja, katanya “biar cepet, udah malem.”  Kalau di Sulawesi, mobil ‘setan’ namanya pete’ – pete. Akhirnya kami menaiki mobil ‘setan’ menuju pondok yang akan kutempati bersekolah, yang waktu itu anehnya nama pondoknya aku tidak tahu, terkesan abal-abal.

***

Ketika tiba di pondok, aku terpesona melihat keindahan pondok baruku, halamannya yang masih asri dengan tumbuhan hijau di mana – mana, banyakvilla kecil yang berwarna cokelat yang dinamakan Bungalow, sangat indah. Banyak sekali yang ingin kutanyakan tentang pondok ini, mulai dari asal-usul villa ini dijadikan pondok, dan lain-lainnya. Itulah Villa Qur’an Hidayaturrahman.

Seperti sekolah lain pada umumnya, di pondok baruku juga diadakan pelatihan siswa dan siswi baru, tapi jika di luar biasa disebut dengan MOS sedangkan di pondok baruku disebut Training Center.  Jika di sekolah luar, pelatihannya hanya satu pekan, di pondok baruku pelatihannya justru 40 hari.

Satu bulan telah kulalui di Pondok Qur’an Hidayaturrahman. Aku mulai mengenal teman seperjuanganku di sini, yang asal daerahnya terbilang sangat jauh. Namanya santri baru. Mungkin tidak indah kalau tidak merasakan fase goncang dan aku mulai menginjak fase itu. Yang kurasakan ialah selalu ada firasat aneh, “Pengen nangis aja bawaannya.”

Kamis, 01 Agustus  2019

Waktu itu aku bersama teman yang lain dihukum mencabut rumput di depan asrama. Tiba-tiba salah satu Ustadz pengajar di PQH yang merupakan teman Abi memanggilku. Perasaanku kembali gado – gado, aku segera menemui Ustadz. Setelah berbabibu, Ustadz langsung berkata “Hikmah, doain abinya ya… Masuk RS lagi.” Kata Ustadz pelan. Aku hanya mengangguk dan masuk ke dalam asrama. Ngapain? ya menangis lah. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya aku mendengar kalimat itu, sejak SMP aku sudah terbiasa mendengarkan kalimat yang menyakitkan hati itu, bahkan waktu gladi bersih UNBK, aku harus izin tidak bisa hadir, aku harus menemani Abi di RS.

Suatu ketika, aku berkesempatan menelpon. “Halo Assalamu’alaikum Ummi, di mana Abi?” Setelah mendapat izin untuk menelpon, aku langsung menanyakan perihal Abi. Ummi hanya berkata pelan, “Sudah, tidak usah khawatir, cuman asmanya yang kambuh.“ Kata – kata Ummi belum bisa membuatku tenang, aku memutus sambungannya. Aku takut memejamkan mata malam itu, entah apa yang Allah takdirkan esok hari.

Jum’at, 02 agustus 2019

Suara lantunan ayat suci Al-Qur’an menggema di masjid pada subuh Jum’at yang berkah itu. Aku kembali dipanggil oleh Ustadz yang sama, dengan perasaan yang sangat tidak enak, aku melangkah keluar dari masjid dan mendapati ustadz yang langsung menyodorkan handphonenya. Hening tercipta untuk beberapa saat. Aku sama sekali takut untuk berbicara. Akhirnya yang di seberanglah yang memulai percakapan “Halo, Hikmah, sudah siap pulang Nak? Tapi Abi sudah tidak ada.”

 Jleb..

InnalillahiwaInnailaihiroji’un, aku langsung mengembalikan handphone Ustadz dan langsung berlari ke asrama. Kalimat yang paling sakit yang pernah aku dengar adalah “Halo, Hikmah, sudah siap pulang Nak? Tapi Abi sudah tidak ada.” Setelah Ustadz yang sama mengimami sholat ghaib, beliau menceritakan sedikit tentang kisah hidup Abi, dab Ustadz berkata, “Abi nanti dimakamkan setelah sholat Jum’at, jika kamu tidak pulang, berarti kamu tidak bisa lihat Hikmah.

Aku tidak boleh egois di sini, akhirnya dengan pasrah aku mengiyakan permintaan Ummi untuk pulang. Kenangan yang pernah kulalui kembali berkelebat di benak tanpa disuruh. Hari yang mungkin akan sulit untuk dilupakan dalam kisah hidupku.

Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar

Sewaktu di pesawat aku ditanya oleh seorang Bapak yang tak kukenal, Dek, pulang yah, ngapain?” Sambil memaksakan untuk senyum, aku hanya menjawab, “Liburan.

Beberapa waktu kemudian, Kakakku pun datang. Aku menyalami tangan kakakku yang telah menungguku di parkiran bandara. Tidak ada tanda berduka pada wajahnya. Dia langsung bertanya “Bagaimana rasanya naik pesawat?” Pertanyaan yang tidak lucu, garing, dan hambar menurutku.

Mobil yang kunaiki bersama kakakku telah terparkir gagah di depan rumah nenekku,. Sedih rasanya melihat bendera putih kecil yang tertancap di sana. Tidak ada lagi orang yang paling bersemangat menyambutku ketika pulang dari pondok. Bukan sambutan bahagia yang aku dapatkan melainkan tangis duka yang menyedihkan. Aku memeluk erat tubuh Ummi yang kini telah menjadi single parent. Aku juga merasa sedih melihat adikku yang masih kecil akan melalui hari-harinya tanpa kasih sayang seorang ayah.

***

 Aku dan saudara – saudaraku kala itu telah bersimpuh di batu nisan milik Abi. Nafas berat  Abi yang dulu setiap malam selalu kudengarkan tidak ada lagi. Rintihan kecil juga sudah tidak ada lagi. Di sinilah aku merasa bahwa aku sangat membutuhkan pertolongan Allah. Bagaimana statusku nantinya sebagai tholabul ‘ilmi?

Sepekan berlalu, Allah kembali menguji keluargaku. Ummi divonis oleh dokter mengidap penyakit dan harus menjalani operasi tumor Adnexa rahim di RS Universitas Hasanuddin Makassar, Apalagi ini ya Allah.Pikiranku dua tahun yang lalu. Sebulan sudah aku menghabiskan waktu di Sulawesi, sampai hampir lupa kalau sekolahku ada di pulau Jawa. Aku merasa kembali lalai, malas, bahkan untuk sholat tepat waktu saja sangat susah untuk kukerjakan.

***

Kita sebagai hamba, tugasnya untuk melayakkan diri agar pertolongan Allah itu mudah kita peroleh. Jika kita saja malas untuk menghamba kepada-Nya, bagaimana mungkin pertolongan itu layak untuk kita?“ Kira-kira itulah taujih dari Ustadz Asdar Majhari, pimpinan Pondok Qur’an Hidayaturrahman.

Setelah melalui semua itu dan bisa kembali bergabung bersama keluarga besar Pondok Qur’an Hidayaturrahman, niat mondok yang dulu bukan karena Allah, perlahan mulai kuubah. Meskipun aku hanyalah seorang santri yang masih belajar menjadi seseorang yang lebih baik. Dan aku adalah seorang santri yang masih belajar untuk bangun sholat tahajjud tepat waktu serta berusaha mengahafal dan mengamalkan Al-Qur’an.

Dan sungguh semua karena pertolongan dan kehendak Allahlah sehingga aku bisa melalui semua ini, kehilangan Abi dan Ummi diuji dengan sakit, tapi Allah selalu berada di sisiku dan mempertemukanku dengan lingkungan pesantren yang baik dan bertemu orang-orang shaleh.

“Jika kita ingin menempuh suatu jalan kebaikan maka percayalah Allah tidak akan membuntukan jalan itu, pertolongan Allah tidak datang dengan cepat, tapi dengan tepat.“

Dalam kesempatan ini, saya berterima kasih kepada kedua orang tua, keluarga, dan kepada keluarga besar pimpinan Pondok Qur’an Hidayaturrahman, serta kepada Hidayatullah telah membuka peluang untuk berbagi kisah dan inspirasi.

*/ Mutiara Hikmah Fajar
Juara I Lomba Menulis Keputrian Muslimat Hidayatullah Kategori SMA sederajat