(Timika, Papua) Ba’da subuh Waktu Indonesia Timur, kelas wustha ummahaat Muslimat Hidayatullah yang digelar di kampus Hidayatullah Timika bergemuruh. Bukan karena hujan deras ataupun gempa bumi, tapi karena suara, motivasi, dan evaluasi membangun yang disampaikan oleh seorang kader militan Hidayatullah.
Ialah Ustadz Sudirman Ambal yang menyebabkan gemuruh di ruang kelas tersebut. Seorang kader yang telah mendedikasikan dirinya selama 45 tahun kepada Hidayatullah, kader yang merambah hutan Papua dan telah menjelajahi beberapa tempat di Papua di antaranya Jayapura, Sorong, Merauke, Bintuni, dan Timika.
Dalam taushiyah ba’da subuh tersebut, beliau menyorot masalah output pendidikan yang dihasilkan Hidayatullah saat ini. Kualitas yang jauh antara panggangan dan api dengan kader yang dihasilkan ketika Hidayatullah belum memiliki aset seperti saat ini.
“Begitu banyak prestasi yang dihasilkan murid yang dididik di sekolah-sekolah kita, medali dan piala didapatkan, namun ketika mereka tiba di tempat pengabdian, sebagian mereka menjadi hantu.” Istilah hantu sontak membuat ummahat yang hadir di kelas tersebut bergemuruh, saling bertanya apa yang dimaksud oleh ustadz Sudirman dengan istilah tersebut.
Melalui penjelasan dan contoh-contoh konkret yang beliau sampaikan, kami paham bahwa beliau mengibaratkan output pendidikan dengan ‘hantu’ karena kualitas mental yang rendah dan dunia yang dijadikan tujuan hidup.
Bagi manusia, hantu itu ada tapi tidak terlihat. Begitulah output pendidikan kita saat ini, mereka mendapatkan banyak prestasi, hafal Al Quran, memiliki banyak ilmu, namun ketika ditugaskan di suatu tempat, hatinya telah dipenuhi kesombongan sebagimana yang disebutkan Allah Swt dalam ayat 6 dan 7 surat Al-‘Alaq.
“Sungguh manusia melampaui batas, ketika melihat dirinya merasa cukup.”
Nah, output pendidikan kita saat ini telah memiliki ilmu dan prestasi, akhirnya sulit untuk terjun ke daerah kering, sulit bekerjasama, sulit menciptakan kerja. Jika daerah yang dijadikan tempat pengabdian tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, tidak sedikit yang kabur, jika tidak kabur, menjadi orang bingung, persis hantu yang hanya kadang-kadang saja dilihat wujudnya. Begitu kira-kira penjelasan ustadz Sudirman tentang ‘kader hantu’.
Kepada peserta wustha yang sebagian besar adalah guru, Ustadz Sudirman berpesan agar selalu memikirkan desain pendidikan yang benar-benar melahirkan kader, pendidikan yang mengikis thagha anak didiknya dan pendidikan yang melahirkan output berjiwa dan bermental tinggi.
Apa yang beliau sampaikan di Jumat pagi kepada para peserta Marhalah Wustha PW Muslimat Hidayatullah Papua, terkhusus bagi saya pribadi, bagai tinju yang menghantam diri. Kisah-kisah heroik dan hadiah-hadiah kenikmatan ke tanah suci sebanyak tiga kali untuk menunaikan haji dan umroh dari Allah Swt, serta kunjungan beliau ke beberapa kota di Jepang bukanlah sekadar kisah yang menarik, tapi juga sebagai bukti janji Allah Swt bagi hamba-Nya yang telah menjual dirinya untuk dakwah Islam.
Semoga apa yang saya tangkap dari Ustadz Sudirman Ambal yang saat ini diberi amanah sebagai Dewan Murabbi Wilayah Papua tidak salah tafsir dan semoga menjadi nasihat untuk para pendidik di sekolah Integral Hidayatullah. Aamiin.
“Jangan sibuk mendidik murid untuk mendapatkan prestasi dan medali semu, mendapat tepuk tangan di atas panggung, tapi ketika terjun ke realita kehidupan hanya menjadi hantu.”*/Sarah Zakiyah